Apakah kamu punya kutipan dialog film yang paling berkesan dan mengena di hati? Apa yang membuat kita terlena duduk terpaku sekian jam menyaksikan sebuah film dari awal hingga usai? Tanpa mengecilkan peran para aktor/aktris, sutradara, art direction dan kru film lainnya, namun para penulis skenario-lah yang membuat nyawa dari setiap karya film masterpiece.
Mereka punya tugas besar menciptakan jalan cerita, dialog, plot, karakter tokoh dalam naskah, serta menulis deskripsi visual. Tanpa (skenario) yang baik dan menarik, maka cerita yang disajikan pun akan terasa membosankan, logika berantakan, bahkan tidak bermutu.
Tidak mudah menjalani pekerjaan ini, dibutuhkan konsistensi dan pengamatan mendalam, bahkan Jordan Peele saja (peraih Oscar untuk Best Original Screenplay film Get Out) sempat menghentikan penulisan naskah “Get Out” hingga 20 kali di mana akhirnya mampu ia selesaikan setelah beberapa tahun lamanya.
Lewat naskah dan plot yang menarik, seorang penulis skenario bisa membuat penonton tertawa, tercengang, kagum, penasaran, bahkan merinding ketakutan. Lalu, bagaimana sebetulnya para penulis skenario itu bekerja? Jawabannya adalah struktur.
Dengan memahami struktur ini, tak hanya membuat seseorang punya performa baik dalam menulis naskah skenario, melainkan juga menulis copy untuk kepentingan komersil. Seperti halnya tugas seorang screenwriter, maka seorang copywriter juga punya tugas menyampaikan cerita untuk memengaruhi orang lain bertindak.
Struktur adalah DNA
Struktur adalah anatomi, fondasi atas sebuah ide yang ingin kita bangun atau tulis. Struktur berbeda dengan formula, karena formula lebih menitikberatkan pada “konten”, sedangkan struktur adalah “metodologi”.
Bahkan, untuk membuat kue saja, ada strukturnya. Jenis kue yang ingin kita buat tergantung dari resepnya, bukan formulanya. Jika kita mengubah formula, kita masih bisa buat kue, tapi jika mengubah strukturnya, tidak mungkin bisa jadi kue.
Sama halnya dalam penulisan, jika kita menggunakan struktur tertentu, maka jadilah “screenplay”. Begitu menggunakan struktur beda, maka jadilah “sales letter”. Misalnya dalam struktur screenplay, terdiri dari set up, character, turning points, climax, aftermath, dan resolution. Sedangkan dalam struktur copywriting, ada attention (A), interest (I), desire (D), conviction (C), dan action (A).
Kedua jenis struktur dalam penulisan tersebut sama-sama dirancang untuk menyampaikan dan menjual sebuah “cerita yang emosional”. Bahkan, di era digital kini banyak para pengiklan yang sudah mulai mengadopsi gaya “storytelling campaign” lewat film pendek untuk menggaet prospek.
Fungsi struktur
Dalam bukunya Writing Screnplays That Sell, Michael Hauge mengungkap, struktur terdiri dari peristiwa dalam plot naskah yang saling berhubungan satu sama lain. Dalam sebuah cerita yang terstruktur, peristiwa dibuat secara berkesinambungan demi mendapat keterlibatan emosi yang maksimal.
Maka hal itu tidak jauh berbeda dengan copywriting di mana jika kita memahami lebih dalam, ada yang dinamakan “invisible architecture”, yakni sesuatu yang berupaya menggaet atensi orang, ketika orang itu sedang membaca buku atau menonton film.
Penulis biasa tidak akan menaruh perhatian pada hal-hal yang dipedulikan orang lain, melainkan kepentingannya sendiri. Namun dalam copywriting, kita wajib memahami apa yang ingin orang lain tahu, baca, dengar, dan rasa.
Ketika kita menulis apakah itu fiksi, skenario, artikel majalah, maka sebenarnya kita tengah melakukan sesuatu yang “invisible” bagi penulis lain tapi sangat jelas bagi kita. Dengan mengikuti struktur, kita punya kekuatan untuk menciptakan respon emosional tertentu.
Hal paling penting dari struktur
Mau sejago apa pun kita menulis berdasarkan struktur, apabila karya/produk/jasa itu tidak bisa dipahami, dibaca dan dinikmati target audiens, maka hasilnya pun akan nol besar. Seperti yang dikatakan Michael Hauge, semua film yang sukses secara komersil punya dua hal mendasar. Pertama, pemasaran dari mulut ke mulut (getok tular), dan audiens yang selalu kembali.
Bisa dibayangkan bagaimana jika kita gagal menyajikan karya atau produk yang tidak mampu memuaskan ekspektasi audiens? Kepuasan adalah hal yang mutlak berlaku dalam bisnis apa pun. Dalam proses belajar, kita mengenal tiga tahapan, knowing, believing, dan being. Nah, untuk menjadi being ini tidak cukup hanya menjadi rata-rata, tapi kita kita juga perlu terlibat dalam seluruh proses melalui latihan terus menerus.
Baca juga: Belajar Menulis Kalimat Iklan dari Feature
Dirangkum dari Awai
Leave a Reply