Dahulu kala, mungkin para jurnalis boleh berbangga, karena dalam buku Thomas Carlyle bertajuk On Heroes and Heroes Worship, ada bagian yang membahas tentang media sebagai pilar keempat kekuatan bangsa yang konon independen dan bebas kepentingan. Namun, kemunculan new media, seperti facebook, twitter, blog, maupun forum-forum sekarang, perlahan membuat posisi jurnalis yang mengedepankan prinsip-prinsip etika dan idealisme (cover both side) kian terhimpit.
Bagaimana tidak, kini semua orang bisa bersuara di mana pun, kapan pun, hanya lewat jentikan jari. Tentu saja kemunculan fenomena citizen journalism ini baik seiring perkembangan teknologi. Namun, di satu sisi juga berpotensi menimbulkan ekses negatif di mana setiap orang yang mungkin tidak punya kapasitas “mumpuni” tetiba bisa langsung menjadi ahli politik, ahli hukum, ahli agama orang, ahli sejarah, ahli ekonomi dan ahli-ahli lainnya yang akhirnya menimbulkan pertikaian dan provokasi di ruang publik.
Bahkan, beberapa media mainstream atau situs yang berbasis UGC (user generated content), membuka kesempatan bagi pembacanya untuk bersuara. Sayangnya, tidak semua media itu memiliki Standard Operational Procedure (SOP) dalam publikasi kontennya.
Saya memang tidak berlatar belakang ilmu komunikasi atau kajian gender, namun sejak tahun 2015 lalu, saya cukup aktif mempelajari komunikasi pemasaran, dan pemasaran internet. Dalam sebuah kelas di komunitas Imers (sebutan untuk para internet marketer) yang pernah saya ikuti, pernah dibahas mengenai tipe-tipe konten yang “laku” dengan membubuhkan judul-judul artikel clickbait atau bombastis.
Tentu saja, semakin banyak orang melihat, maka trafik website pun makin tinggi, dan pundi-pundi pemasukan pun lancar jaya dari iklan adsense. Meski dianggap tak beretika, namun tak dimungkiri, selain isu politik, topik yang kerap menjadi trending hingga dibaca puluhan ribu viewers adalah kala menjual tema obyektifikasi seksual perempuan. Saya harus akui, jika tipe-tipe konten begini yang kemudian dijadikan tolok ukur bagi para imers. Di masa itu, artikel-artikel dengan pembahasan model Anggita Sari atau Duo Srigala paling banyak dijadikan contoh.
Namun, belakangan terakhir, banyak orang yang merasa cukup tercerahkan setelah kemunculan akun twitter @ClickUnbait yang didirikan beberapa orang dengan tujuan memberi edukasi pada masyarakat sekaligus media untuk lebih bijak dan cerdas membuat dan membaca berita online. Salah satu sorotan yang dikritik pedas akun ini adalah, saat seorang praktisi kuliner, sekaligus jurnalis senior Bondan Winarno tutup usia beberapa waktu lalu.
Seperti yang kita tahu, mendiang Bondan Winarno memiliki cucu yang berpenampilan menarik. Salah satu media terkenal, kemudian membahas tentang kehidupan cucu sang pencetus slogan “maknyuss” itu. Sayangnya di tengah duka mendalam yang dialami keluarga, media tersebut sempat-sempatnya memberi judul pada salah satu poin artikelnya, dengan kalimat “ingin menafkahi”. Selain dianggap tak berempati terhadap keluarga yang ditinggalkan, judul itu dianggap oleh para netizen norak, seksis, dan gak bermutu.
Maraknya konten berbau seksis ternyata juga jadi perhatian sebuah situs media online Magdalene.co, yang kerap menyuarakan isu-isu seputar gender dan perempuan. Sayangnya, konten bernada misogini seksis yang selalu laku dijual ini memang sulit dibendung.
Coba saja lihat judul-judul artikel di bawah ini, yang justru dipelopori oleh media yang punya nama:
“Dipeluk ‘Nakal’ dari Belakang, Artis Cantik Ini Malah Pasrah dan Nikmati Suasana”
“Hati-hati! Selebgram dan Model Aduhai Ini Jago Bikin Pria ‘Deg Deg Ser’”
“Pemain Catur Ini Cantiknya Mengalahkan Pramugari, Bikin Pria Gagal Fokus dan Lemas”
??????
Fenomena Bikini
Konten berbau misogini seksis ternyata tidak cuma dimanfaatkan oleh perusahaan media online demi meraup pundi pemasukan dan mengejar rating Alexa. Kalau masih ingat, tahun lalu, para netizen juga sempat dihebohkan dengan fenomena BIKINI alias Bihun Kekinian, yang menjadi merk dagang sebuah usaha snack mie remas yang laku dijual online.
Meski ditinjau dari sisi komunikasi brand, penamaan Bikini memang cukup kreatif dan catchy, namun elemen kemasan yang menampilkan gambar wanita berbikini (meski tanpa wajah) tetap dianggap tidak cocok untuk segmen remaja apalagi anak-anak.
Belum lagi, slogan yang juga terdapat dalam kemasan berbunyi “Remas Aku” makin membuat banyak kalangan geram. Kontroversi pun berakhir setelah sang pemilik yang juga seorang wanita mahasiswi dan dikenal berpenampilan santun tersebut digelandang ke pihak berwajib.
Selama isu-isu obyektifikasi seksual perempuan terus diangkat ke permukaan, maka kemungkinan besar pelecehan verbal (catcalling) bahkan sampai pelecehan seksual (fisik) di luar sana bakal terus terjadi.
Seorang perempuan bernama Noa Jansma (20), mahasiswi desain di Eindhoven, Belanda melakukan hal cukup nyeleneh saat menghadapi para catcallers. Seperti halnya banyak perempuan, apalagi berpenampilan menarik, ia sangat sering diteriaki oleh para lelaki “iseng” saat berjalan di tempat umum, seperti“Hey sexy girl, where are you going alone?” atau ‘sexy’, ‘wanna come in my car?’
Jika banyak perempuan yang bersikap cuek, Noa malah melakukan hal sebaliknya, ia mendatangi para pria itu, lalu meminta berfoto selfie. Sebagai bentuk dukungan moril terhadap banyak perempuan yang punya pengalaman sama, ia bahkan membuat akun khusus Instagram @dearcatcallers yang memuat foto-foto selfie-nya bersama para “catcallers” di mana menjadi viral dan banyak mendapat respon positif.
“Awalnya saya berpikir agar para catcallers itu mengerti motif saya, ketika berfoto selfie. Tapi sering kali mereka bahagia karena berpikir bahwa mereka benar-benar memuji saya. Mereka tak peduli perasaan saya, Bahkan mereka tak menyadari jika wajah saya terlihat tak senang,”katanya kepada Buzzfeed.
Media & konstruksi sosial
Tidak bisa dimungkiri jika kebanyakan para pemerkosa adalah pria, pelaku pelecehan seksual juga kebanyakan pria, dan pelaku kekerasan rumah tangga juga mayoritas dilakukan pria. Lalu, apakah benar, jika pria terlahir sebagai predator alami yang tak lebih baik dari hewan? Tentu saja tidak.
Kalau pria memang bukan predator seksual, kenapa kekerasan seksual kok marak terjadi? Dikutip dari situs Psychologytoday, jawaban dari pertanyaan itu bisa sangat kompleks, karena ada realita historis, biologis, dan sosial yang membuat mengapa pria kerap bertindak keras atau memiliki kontrol terkait isu seks dan konflik. Secara fisiologis, rata-rata pria memiliki kekuatan fisik lebih besar dari wanita, sehingga dinilai lebih berpotensi menyakiti wanita dibanding sebaliknya.
Pelecehan seksual merupakan masalah serius di banyak masyarakat, kendati hal tersebut tak akan bisa dihilangkan begitu saja. Media tentu memiliki peran andil membentuk konsepsi bagaimana orang semestinya berperilaku. Sosiolog C. Wright Mills mengatakan, jika media akan merefleksikan nilai, kepercayaan, dan praktik dalam masyarakat, yang dikonstruksi secara sosial oleh interaksi simbolik, lalu diterjemahkan pada bagaimana kita berinteraksi dengan lainnya menggunakan “kata dan perilaku” yang juga memiliki makna simbolis.
Jadi, sudah siap jadi media yang menyebar konten lebih bijak? Atau memang konten misogini seksis itu adalah cerminan mayoritas masyarakat kita?
Leave a Reply