Sebagai negara dengan jumlah penduduk paling besar di Asia Tenggara, tak heran jika euforia tur dunia band asal Inggris Coldplay yang konsernya digelar di Singapura dan Bangkok beberapa waktu lalu, paling banyak dibanjiri orang Indonesia.
Di sosial media seperti Instagram, para netizen dengan antusias mengunggah suasana konser band yang berdiri sejak tahun 1996 itu, baik lewat foto atau video seolah tak ingin ketinggalan momentum euforia bersama para Coldplayers lainnya.
Tapi, seberapa penting-kah harus nonton konser Coldplay sampai ke luar negeri segala, hanya masing-masing-lah yang bisa menjawab 🙂 Saya sendiri gak pergi nonton, alasan pertama, memang bukan penggemar Coldplay dan penggila konser, kedua karena gak punya budget (alasan kedua kayaknya lebih masuk akal yah..haha).
Band yang digawangi Chris Martin, Guy Berryman, Will Champion, dan Jonny Buckland ini mengadakan tur di Asia Tenggara, yang merupakan bagian dari “A Head Full of Dreams Tour’ di mana tiket konser mereka ludes terjual di negeri Singa dan beberapa negara lainnya, membukukan pendapatan fantastis.
Covert selling and how Coldplay tell a story…..
Bicara soal jualan, sejak tahun lalu, dunia internet marketing di Indonesia diramaikan dengan sebuah istilah yang namanya covert selling. Pada dasarnya, covert selling ini mirip dengan prinsip storytelling yang mengandalkan kemampuan narasi bercerita, terselubung, dan tidak bersifat mempromosikan diri, namun bisa menyentuh alam bawah sadar atau emosi manusia untuk mengingat atau bahkan bertindak.
Konsep ini sebetulnya tidak baru-baru amat di dunia pemasaran dan bisnis, karena sejak era 1990-an, penulis sekaligus President Hypnotic Marketing Inc. Joe Vitale telah membuat buku berjudul Hypnotic Writing. Buku mantra ini diperuntukkan bagi para praktisi pemasaran dan periklanan yang kemudian menjadi salah satu buku best seller di dunia.
Tak bisa dimungkiri, sejak zaman dahulu kala, sudah sifat naluriah manusia dari mulai anak-anak hingga dewasa pasti menyukai cerita dalam aneka bentuk. Sebut saja, dongeng, legenda, mitos, sinetron, telenovela, gosip dan cerita pribadi, cerpen, komik, novel, puisi, bahkan lagu.
Para antropolog pun menemukan fakta bahwa folklore, cerita rakyat, dan dongeng memang tersebar di seluruh dunia lewat budaya kuno, yang dituliskan dalam aneka bahasa, seperti Sanskreta, Latin, Yunani, China, Mesir dan Sumeria. Semua orang merajut narasi, dari mulai dongeng, legenda dan mitos yang diciptakan sejak masa manusia berburu meramu, sampai cerita yang disampaikan di era kekinian lewat buku, acara televisi bahkan film dan lagu itu sendiri.
Memang begitu banyak lirik lagu bercerita yang mampu menggugah emosi pendengarnya, di antaranya Adele (When we were young), Cake (I will survive), Yusuf Islam dan Ronan Keating (Father & Son), Alanis Morisette (Ironic), Taylor Swift (You belong with me) dan menurut saya termasuk Coldplay sendiri lewat single ke-5 dari album A Head Full of Dreams “Everglow” yang juga dibawakan dalam konser tur dunia-nya.
Menurut International Federation of the Phonographic Industry, ‘A Head Full of Dreams’ adalah album ke-8 dengan penjualan terbaik di 2015, yakni sebanyak 1,9 juta keping album di seluruh dunia. Hingga Maret 2017, album ini telah membukukan penjualan sebanyak 5 juta kopi di dunia.
Lalu, bagaimana lewat lirik Everglow yang dibuat epik bernuansa ballad dengan iringan piano sederhana dan vokal Chris Martin yang kuat, mampu menghipnotis jutaan orang di dunia yang merasa terhubung dengan kisah di balik lagu itu;
Oh say they people come, say people go
this particular diamond was extra special
and though you might be gone, and the world may not know
still I see you, celestial…
like a lion you ran, a goddess you rolled
like an eagle you circled, in perfect purple
so how come things move on, how come cars don’t slow
when it feels like the end of my world
when I should but I can’t let you go?
—
but when I’m cold, cold
in water rolled, salt
I know that you’re with me and the way you will show
and you’re with me wherever I go
and you give me this feeling this everglow….
—
what I wouldn’t give for just a moment to hold
yeah I live for this feeling this everglow
so if you love someone, you should let them know
oh the light that you left me will everglow
Cinta segitiga ala Meyer
Sekitar tahun 2008, rasanya tidak ada orang yang tidak kena demam “Twilight”, terlebih ketika cerita fiksi karangan Stephenie Meyer ini diangkat ke layar lebar. Kisah cinta Bella (Kristen Stewart) dan Edward (Robert Pattinson) saat itu benar-benar jadi relationship goals-nya cewek-cewek di muka bumi hehe…
Kisah romansa yang tidak direstui karena perbedaan kasta dan latar belakang memang bukan hal baru, sejak ikon Romeo & Juliet yang diciptakan Shakespeare begitu melegenda hingga kini. Begitu pula dengan kisah cinta segitiga yang sudah begitu banyak diangkat dalam ragam karya fiksi.
Namun, Stephenie Meyer hadir dengan sudut pandang yang berbeda, dengan mengangkat cinta segitiga antara manusia, vampire, dan serigala , what a wild, wild imagination ;).
Meyer merupakan salah satu penulis berbakat dengan penjualan buku tertinggi di AS, terutama untuk empat koleksi buku fiksi seri Twilight yang telah terjual 100 juta kopi secara global di lebih dari 50 negara, dan diterjemahkan dalam 37 bahasa.
Lalu, apa yang sebenarnya membuat cerita khayalan ini begitu laris di pasaran?
Seperti halnya lirik lagu Everglow, sebuah cerita fiksi pun bisa menyentuh emosi ketika mengandung empat unsur berikut, setting, karakter, konflik, dan resolusi. Namun, di antara keempat unsur itu, konflik-lah yang paling penting. Tanpa konflik, sebuah cerita tidak akan menjadi seru dan menarik.
Dalam lirik Everglow, sebetulnya menggambarkan cerita klise, karena konflik yang terjadi adalah pada diri sendiri di mana saat ia kehilangan orang yang dicintai namun tetap harus tegar melanjutkan hidup. Nyatanya, lewat diksi yang tepat bisa membantu menggali lebih dalam emosi orang yang mendengarkannya. Berikut adalah kutipan Chris Martin mengenai cerita lagu itu.
“”I was in the ocean one day with this surfer guy. He was like, ‘Yo dude, I was doing this thing the other day, man. It gave me this total everglow!’ I was like, ‘What an amazing word!”…..
“To me, it’s about–whether it’s a loved one or a situation or a friend or a relationship that’s finished, or someone’s passed away–I was really thinking about, after you’ve been through the sadness of something, you also get this everglow. That’s what it’s about.” –Chris Martin- (dok.popsongprofessor)
Begitu pun konflik yang terjadi dalam kisah Twilight, di mana keinginan kuat Bella yang ingin hidup bersama Edward, namun terhalang oleh dunia yang berbeda. Selama perjalanan itu pun, hubungan Bella dan Edward harus menerima berbagai cobaan baik dari ayah Bella, ras vampire, dan pria serigala bernama Jacob (Taylor Lautner) yang juga menaruh hati pada Bella.
Soal merangkai diksi, rasanya tak perlu diragukan lagi kemampuan Meyer yang memang merupakan lulusan Sastra Inggris Brigham Young University ini.
Apa yang bisa dipelajari dari kedua cerita di atas untuk brand kita? Apakah kita bisa menjual produk atau jasa sedahsyat Coldplay dan Meyer menjual persepsi dan imajinasinya?
Kalau menurut saya, covert selling atau storytelling memang tidak cukup hanya sekedar dibuat untuk jualan saat itu saja, tapi sudah semestinya dirumuskan sejak tahap awal konseptualisasi saat membangun brand itu sendiri, bersamaan dengan memformulasikan imej dan pesan untuk audiens.
Dengan demikian, cerita yang dibangun pun tetap konsisten sesuai imej dan value perusahaan. Karena orang akan jauh lebih mengingat cerita yang baik dibanding sales pitch atau jargon-jargon seperti dalam lembaran brosur.
So, how do we inspire our audience with brand?
Stop selling, but start telling the stories…that matter… 🙂
Baca juga: Tujuh Brand yang Memukau lewat Storytelling
Leave a Reply