Consumer Insights via Etnography adalah sebuah buku yang ditulis oleh praktisi pemasaran dan branding Amalia E Maulana tahun 2009 lalu. Yeah, it’s such a long time ago, makanya gak heran setelah mencoba mencari kesana kemari, saya belum juga berhasil mendapatkan buku tersebut. Semuanya out of stock, sampai saya tanya ke Etnomark Consulting pun mereka gak punya stoknya. Hiks…
Sebenarnya yang bikin saya pengen banget punya buku itu, karena ada pembahasan studi kasus yang kebetulan berhubungan dengan industri yang sedang saya geluti sekarang. Eh, apa daya kalau ternyata gak ada satu pun stok tersisa untuk diriku 🙁 Tapi, ada satu buku lain yang boleh juga dipertimbangkan nih, judulnya Ethnography for Marketer: A Guide to Consumer Immersion karya Hy Mariampolski. Next time cari lagi 🙂
Okeh, balik lagi ke topik utama, jadi sebenarnya etnografi itu makhluk apa? Etnografi adalah sebuah teknik penelitian khas dari cabang kelimuan antropologi yang berisi deskripsi cara hidup dan kebudayaan masyarakat tertentu. Seperti yang kita tahu, ilmu antropologi pada awalnya muncul di era kolonialisme, di mana saat itu para penjajah dari bangsa-bangsa Barat berupaya mendapat gambaran utuh dengan meneliti ciri fisik dan kebudayaan dari suku-suku masyarakat terasing.
Sebagai sebuah disiplin ilmu yang mengedepankan pendekatan holistik dan komparatif, kini antropologi banyak dikembangkan secara luas sekaligus memiliki kontribusi penting bagi disiplin ilmu lain, seperti medis, maritim, komunikasi, pariwisata, politik dan kebijakan publik, bahkan pemasaran.
Saya sendiri sebetulnya belum pernah sih bekerja di konsultan riset pemasaran, tapi yang mayoritas saya tahu, rata-rata perusahaan konsultan pemasaran di Indonesia masih menggunakan teknik penelitian tradisional, seperti kuesioner atau Focus Group Discussion (FGD).
Nah, teknik etnografi dalam pemasaran di sini lebih berupaya menggali dan memahami bagaimana sebetulnya orang-orang itu menjalani hidup. Jika angka statistik hanya menunjukkan apa yang mereka katakan, maka etnografi lebih menggali pandangan mendalam mengapa mereka melakukannya. Why do people do what they do?
Apple besutan Steve Jobs adalah salah satu perusahaan teknologi yang menggunakan riset etnografi. Tak heran, jika beberapa praktisi pemasaran berpandangan jika Apple adalah satu-satunya perusahaan teknologi yang memanusiakan manusia. Salah satu kesuksesan terbesar Apple adalah saat meluncurkan i-Pod yang mendapat sambutan luas dari para pecinta musik dan gadget.
Lewat salah satu teknik etnografi usability interview, Apple sukses membawa desain produk inovatif dan komunikasi brand yang tepat sasaran. Pemahaman konsumen dilakukan dengan pendekatan antropologi murni, melihat segala sesuatunya dari kacamata konsumen atau sudut pandang pengguna.
Ternyata bukan hanya Apple, perusahaan teknologi Intel juga cukup lama menggunakan riset etnografi dalam pengembangan desain produknya. Divisi riset Intel yang dipimpin oleh seorang antropolog, Ken Anderson mengatakan, jika tujuan etnografi adalah untuk melihat bagaimana orang berperilaku menurut pandangan mereka, bukan kami. Menurut dia, etnografi akan menerangkan konteks di mana konsumen akan menggunakan produk baru dan memaknainya dalam kehidupan sehari-hari.
Intel menggunakan teknik etnografi saat akan fokus pada pengembangan pasar baru. Perusahaan teknologi yang berbasis di California itu biasanya hanya menyediakan produk untuk korporasi. Namun tahun 1995, para manajer mulai mempertimbangkan penyediaan produk di rumah tangga, di mana merupakan pasar dengan karakter sangat berbeda. Riset etnografi menunjukkan adanya potensi di mana Intel akhirnya membangun unit bisnis sendiri untuk konsentrasi pada prosesor dan platform yang digunakan di rumah.
Seperti halnya, perusahaan teknologi lainnya, keputusan Intel untuk masuk ke pasar baru benar-benar jadi pertaruhan. Para etnografer Intel pun dihadapkan pada sejumlah pertanyaan strategis, seperti apakah televisi dan teknologi PC bisa mencapai titik temu bersama? Apakah generasi baby boomers tetap mempertahankan penggunaan TV dan PC, atau mereka juga akan ikut berpindah ke platform media baru? Dan, apakah ponsel pintar benar-benar bisa mengambil alih fungsi komputer personal (PC)?
Intel tentu mampu menganalisa hal-hal tersebut dari data pembelian atau survei konsumen. Namun, banyak pula konsumen yang kerap tak mampu mengartikulasikan apa yang sebetulnya mereka cari dari sebuah produk atau jasa. Maka, dengan memahami bagaimana mereka hidup, di titik inilah para peneliti akan menemukan fakta yang kadang sulit diungkapkan untuk kepentingan strategi perusahaan ke depan.
Pentingnya memahami tren pasar lewat cara hidup masyarakat sehari-hari memang tak bisa diabaikan begitu saja, mengingat makin ketatnya persaingan bisnis. Bahkan, sebuah data menyebutkan, jika kegagalan perusahaan start up mayoritas lantaran tidak mampu mengindentifikasi kebutuhan pasar. Contohnya saja, pada 3 Oktober 2016 lalu, layanan antar makanan online Foodpanda resmi menghentikan operasionalnya di Indonesia.
Dilansir TechinAsia, Managing Director Foodpanda Indonesia Victor Delannoy mengatakan, meski telah menghentikan layanan di Indonesia, pihaknya masih mempertahankan bisnis layanan antar makanan online itu di lima negara lainnya, seperti Singapura, Hong Kong, Malaysia, Taiwan, dan Thailand.
Lebih lanjut, Co Founder dan CEO Foodpanda Group Ralf Wenzel mengatakan, Indonesia masih menunjukkan kesempatan yang jauh lebih kecil bagi proporsi perusahaan. Bisnis layanan antar makanan ini memang cukup sesak dengan kehadiran layanan serupa di pasaran, seperti Go Food, UBerEats, dan Grabfood.
Seperti dikaji Tirto, Foodpanda dinilai gagal mengidentifikasi pasar di Indonesia. Masyarakat Indonesia umumnya tidak membutuhkan layanan pesan antar yang menjaga kualitas makanan seperti yang dilakukan Foodpanda dengan menyediakan kotak penyimpanan khusus selama perjalanan dan membatasi jangkauan pengantaran sampai 25 kilometer. Masyarakat Indonesia lebih menyukai banyaknya variasi makanan yang dapat dipilih, serta tidak terbatasnya jangkauan pengantaran seperti yang dilakukan Go-Jek lewat layanan Go-Food.
Selain itu, seperti dikutip dari Tech in Asia, salah satu masalah mendasar dari layanan pesan-antar makanan di Indonesia adalah kecilnya jumlah pesanan yang dilakukan oleh para pengguna layanan. Lantaran masyarakat Indonesia cenderung memesan makanan dalam jumlah kecil, maka untuk menutup biaya operasional perusahaan, jumlah pemesanan harus dinaikkan. Dengan demikian, Foodpanda mewajibkan minimum nilai pemesanan dalam layanannya, yang lagi-lagi gagal memenuhi ekspektasi konsumen.
Scott Stiner, CEO dan Presiden UM Technologies yang perusahaannya juga menggunakan riset etnografi dalam pengembangan produknya mengatakan, tak perlu diragukan lagi jika etnografi mampu memenuhi tujuan user experience (UX). Tak hanya bisa dimanfaatkan oleh penyedia software, tapi juga di beragam tipe bisnis lainnya, seperti digital marketing atau ritel.
Beberapa teknik etnografi pemasaran yang bisa dilakukan perusahaan di antaranya sebagai berikut:
- Participatory observation
- Non participatory observation
- Unstructured interview
- Contextual In-depth interview
- Shadowing/day in the life
- Usability interview
- Storytelling
- Netnography
- Creatives Focus Group
- Subject Diaries
If you want to understand how a lion hunts don’t go to the zoo. Go to the jungle. -Jim Stengel CMO of P&G
So, do we really know and understand our market?
Leave a Reply