Lantaran kepoin akun Instagram clothing line berbasis streetwear yang namanya maaf (Berak), saya jadi penasaran, sebenarnya konsumen mereka itu siapa ya? Terus, orang-orang kayak gimana gitu yang mau pakai kaos dengan tulisan sablon maaf (Berak) haha….
But, jumlah pengikutnya udah 300 ribu orang lebih bok, dan setiap postingannya bisa dibilang selalu punya engagement yang bagus dengan audiensnya. Jenama streetwear asal Bandung ini menyebut lininya sebagai jenama counterculture.
Secara terminologi sosiologis, counterculture sendiri merupakan kategori kelompok subculture di mana nilai, norma, dan perilakunya berbeda, bahkan bertentangan dari norma yang selama ini berlaku di masyarakat mainstream. Tapi, bukan berarti mereka kelompok kriminal loh yah 🙂
Jika menilik ke belakang, kelompok anak muda anti mainstream ini biasanya disebut sebagai hipster di tahun 1980-1990 an. Berdasarkan urban directory, hipster merupakan kelompok subculture berusia 20-30 an yang mengedepankan kebebasan berpikir, kreativitas, kecerdasan, humor jenaka, menyukai seni dan musik indie.
Lalu, apa sebutan untuk generasi “kelas kreatif” itu di era sekarang? Milenial? Yuccie? Yuppie? Mari pertimbangkan, Yuccies a.k.a Young Urban Creatives. Pada intinya, generasi yang disebut Y dan Z ini lahir di tengah kenyamanan sub urban, melewati batasan kekuatan pendidikan, dan terinfeksi dengan slogan tak hanya hidup untuk mengejar mimpi, namun juga mesti menghasilkan.
Seorang content creator yang juga menjadi produser film Filosofi Kopi Handoko Hendroyono, mengatakan, era sekarang adalah pasarnya generasi milenial urban yang cenderung menyukai sesuatu bergaya artisan, personal, humanis dan privilege.
Apakah kita termasuk generasi Yuccie sekarang? Coba yuk lihat ciri-ciri khas yang lainnya….
Banyak uang bagus, tapi menghasilkan uang secara kreatif lebih baik
Jika kita tinggal di kota metropolitan seperti, New York atau San Fransisco mungkin kita akan tahu banyak tentang karya para yuccies ini. Para yuccies adalah mereka yang menjadi konsultan sosial mengkoordinasikan #sponsored di tiap kampanye instagram untuk jenama gaya hidup, mereka adalah para pemrogram yang menjajakan Uber untuk kalangan bawah, atau pemilik butik yang menjual kacamata dari bambu.
Namun tak perlu jauh-jauh ke New York, di Jakarta, dan beberapa kota besar Indonesia lainnya pun kita bisa menemui para yuccies sejati ini. Menjadi kaya, tentu baik, tapi menjadi kaya cepat dan tetap memelihara semangat kreatif, itulah mimpi para yuccies. Validasi personal menjadi “segalanya” bagi kaum Yuccie.
Pernahkah terbayang dalam benak kita, ada seorang akuntan yang meninggalkan pekerjaan di perusahaan besar demi mengejar passion sejatinya seperti, membuat kaos kaki warna warni? membuat alat tulis letterpress?, atau menciptakan jejaring sosial video game?
Para Yuccie tidak mendefinisikan diri mereka dengan kekayaan, melainkan hubungan antara kekayaan dan kreativitas mereka. Dengan kata lain, mereka ingin dibayar untuk ide mereka sendiri, bukan mengeksekusi gagasan orang lain.
Mengedepankan gaya artisan dan personal
Di era pergeseran dari hipster ke generasi Yuccies, sekarang kita akan sering melihat fenomena DIY entrepreneur, pemasaran niche, peluang pengembangan teknologi baru, tumbuhnya concept store di berbagai kota besar, dan media gaya hidup baru.
Saat ini, kita sering melihat makerspace tumbuh sebagai tempat belajar baru bagi kaum muda urban di luar sekolah formal. Bahkan untuk konsumsi gaya hidup para yuccies ini menghindari berbelanja di riteler modern seperti Matahari, Sogo, atau Centro, tapi melirik concept store seperti, Goods Dept, Dia.Lo.Gue Artspace, Art & Science, Genetika dan Footurama di mana produk-produknya ditawarkan dengan jumlah dan desain terbatas.
Tak terkecuali, konsumen streetwear seperti (maaf) Berak, Uncle, Monstore selalu menjadi buruan para yuccies sejati ini. Sedangkan, untuk konsumsi media, para Yuccies ini sudah pastinya menyukai musik dan film indie, serta jenis media seperti, Vice, Whiteboard Journal, majalah Monocle, serta Hypebeast.
Di Bali, ada sebuah tempat bernama Deus Ex Machina yang menggabungkan konsep gallery, workshop, dan restoran menjadi satu kesatuan. Mereka memberdayakan orang-orang Bali untuk membuat segalanya menjadi mungkin, seperti membuat, merakit kembali, meng-custom sepeda motor bekas, papan selancar, musik, kopi, bahkan sushi. Lewat slogannya The Temple of Enthusiasm, Deus ingin menciptakan segala sesuatu menjadi serba personal dan istimewa.
Internet mainan baru
Potensi besar internet dan kemajuan teknologi, menjadi peluang besar untuk kaum Yuccies ini bertransformasi dari pertumbuhan tradisional ke profesional. Pertumbuhan dot.com, media sosial, dan start up adalah segelintir fenomena nyanyian para yuccies. Prinsip mereka adalah “anda berhak membuat hidup sendiri lebih baik. Ide anda sangat berharga. Ikuti mimpi anda”.
Para yuccies kerap mengejar mimpi yang bisa saja lebih abstrak dari yang pernah ada selama ini. Mereka tumbuh di era internet, menciptakan tipe-tipe kaum elite baru, maka sangat tak mungkin untuk tidak menjadi seorang ambisius, dan eksplorer sejati. Internet menjadi now market dan next market untuk para yuccies.
Pada dasarnya, menjadi yuccies semacam sinisme fokus pada diri sendiri yang eksis di tengah ketiadaan kesulitan. Inilah kenyamanan sejati kala kita bisa mencurahkan segalanya dengan penuh keyakinan, inilah kemewahan kala kita mampu memilih sendiri pertarungan yang sebenarnya. Dalam konteks ini, sinisme menjadi sifat yuccies yang paling nyata.
Leave a Reply