Siapa yang tak suka menggunakan bahan jeans? Di era seperti sekarang menggunakan bahan jeans memang sudah menjadi bagian dari tren terutama di kalangan anak muda baik pria maupun wanita. Selain nyaman digunakan, jeans juga memberi kesan lebih santai dan rileks bagi para pemakai-nya.
Jeans juga tak hanya lazim digunakan sebagai bahan celana saja, namun juga berbagai jenis pakaian atau aksesori lainnya, seperti kemeja, rok, blazer, bahkan tas dengan keluaran berbagai merk. Tapi, tahukah anda asal mula dari celana jeans itu sendiri. Ini dia rangkumannya:
Jeans pertama kali dibuat pada tahun 1560-an di Genoa, Italia untuk keperluan angkatan laut karena bahannya yang kuat digunakan dalam kondisi apa pun. Pada tahun 1980-an, jeans mulai masuk ke Amerika Serikat (AS). Jika anda sangat mengenal jeans dengan merk Levi Strauss, dialah sang pemuda yang pada saat itu berusia 21 tahun asal Bavaria, Eropa yang memperkenalkan jeans pertama kali kepada para penambang emas di San Fransisco, AS.
Dengan bantuan seorang kawan-nya, Jacob Davis, mereka mereka berdua kemudian menciptakan kancing dari bahan metal untuk memperkuat kaitan dan kantung celana. Hal ini agar celana yang digunakan tidak mudah sobek karena mereka mengantungi emas. Nah, pada tahun 1970-an adalah momentum di mana jeans mulai diproduksi massal, semakin memeriahkan varian dalam industri fesyen, dan menjadi lambing tampilan kasual hingga kini.
Apa yang bisa kita pelajari dari eksistensi Levi’s?
Brand yang otentik
Levi’s adalah salah satu brand otentik yang mengusung pendekatan cultural branding. Bermula dari menyasar kelompok pekerja tambang di California hingga melayani permintaan ke seluruh negeri dan dunia, siapa sangka mereka mampu bertahan hingga 162 tahun dan menjadi brand pakaian kebanggaan masyarakat AS.
Di era abad pertengahan periode deindustrialisasi, perusahaan denim ini menjadi populer di kalangan kelompok anak muda subculture pemberontak, menjadi brand yang menyuarakan kelompok hippies.
Levi’s juga merupakan brand yang kerap menampilkan ikon kuat dalam kampanye iklannya. Di awal tahun 1950-an, Levi’s menampilkan selebriti yang dikenal bad boy, seperti Marlon Brando di media cetak. Tak sampai di situ, berlanjut hingga akhir tahun 1960-an, Levi’s berkolaborasi dengan radio counterculture alias anti mainstream memperdengarkan musik psychedelic dari Jefferson Airplane. Levi’s memang selalu mampu membangun koneksi emosional dengan audiensnya.
Masuk pertengahan 1980-an, Levi’s meluncurkan kampanye mempromosikan koleksi klasik 501s, di mana saat itu mampu mendatangkan permintaan cukup tinggi terhadap jeans dengan 5 kantong yang awalnya telah diperkenalkan lebih dari 100 tahun sebelumnya. Perusahaan ini juga terus melakukan upaya inovasi di akhir tahun 2000-an.
“Orang banyak yang suka 501 versi original karena tak lekang oleh waktu. Kami ingin menjadi bagian dari momentum,”kata CMO Levi’s Jennifer Sey.
Hari ini, otentisitas telah menjadi bagian penting dari bisnis dan karakter brand. The Authentic Brand Index (ABI), telah menunjukkan semakin kuat otentisitas brand, maka semakin banyak pula orang yang ingin mengadvokasinya. Levi’s secara jelas mampu mengidentifikasi tujuan, atribut, dan nilai serta menggunakannya dalam segala hal yang mereka lakukan.
“Brand yang mampu menciptakan tujuan akan memenangkan hati Milenial, dan brand yang mampu jadi beda dan otentik mampu pula memenangkan pikiran mereka,”kata Jeff Fromm, penulis Marketing to Millenials.
Leave a Reply