Perkembangan dunia internet memang banyak mengubah landscape dunia kerja belakangan terakhir. Hal ini turut mengerek permintaan di antaranya terhadap jasa kreatif, seperti videografi, desain grafis, penulisan (copywriting), influencer, hingga manajemen media sosial. Menariknya, pekerjaan di atas tak hanya dilakukan oleh agensi yang sudah mapan, melainkan oleh para individu perorangan.
Sebagai brand owner yang kerap bekerja sama dengan para freelancer, saya pun turut terbantu dengan kehadiran mereka. Setidaknya, fee yang mereka tawarkan tidaklah semahal jika kita menyewa agensi. Namun, yang kerap jadi persoalan bagaimana sebenarnya para freelancer individu itu menetapkan fee atas jasa mereka.
Di satu sisi, para pemilik usaha (apalagi umkm) tentu menginginkan harga yang terjangkau dengan kualitas kerja memadai. Namun di sisi lain, para freelancer pun kerap merasa bahwa fee yang ditawarkan pemberi proyek terlampau rendah bahkan tak masuk akal. Masih ingat dengan kasus seorang socmed influencer terkenal (punya banyak bisnis) yang hanya mau membayar jasa kreatif dengan dalih “exposure”?
Kasus itu semakin memunculkan polemik mengenai peliknya hubungan antara pekerja dan pemberi kerja. Termasuk kasus banyaknya perusahaan yang tidak memberi bayaran sepeser pun pada karyawan magang, tapi diminta bekerja penuh waktu. Bukankah ini menjadi manipulatif dan eksploitatif?
Sama halnya seperti menjalankan bisnis sendiri, pekerjaan freelance memang cukup berisiko jika tidak dilakukan perhitungan tepat. Komponen paling penting dalam menentukan fee biasanya, terdiri dari indeks/standar harga per jam kerja dan tahapan kerja/proses kreatif.
Saya juga kerap menemui freelancer yang tidak tahu harga per jamnya. Sekarang, mari coba kita kalkulasi bagaimana freelancer itu menetapkan fee (dirangkum dari beberapa sumber), sekaligus menjadi wawasan baru bagi para pemberi kerja untuk membayar mereka dengan fee yang wajar.
1. Tentukan target pendapatan/gaji setahun
Langkah pertama ini memang bagian paling gampang. Singkatnya kamu mau penghasilan berapa per tahun? Cara paling mudah menentukan target gaji tentu saja dengan menggabungkan antara biaya hidup sehari-hari dan target menabung/investasi. Katakanlah target pendapatan setahun Rp200 juta.
2. Kalkulasikan pengeluaran dan biaya-biaya (operasional)
Kalau dalam LK laba rugi bisnis, biaya operasional (overhead) ini biasanya termasuk penggunaan listrik, air, telepon, internet, promosi, transportasi. Tentu tak jauh berbeda, seorang freelancer harus tahu berapa biaya yang dibutuhkan saat mengerjakan sebuah proyek.
Misalnya, biaya langganan ruang kerja (coworking space)/ tahun, biaya hosting/domain/tahun, internet/tahun, langganan perangkat manajemen proyek/tahun, biaya promosi/tahun, ganti/perawatan laptop per 3 tahun, biaya konsultansi akuntan, pajak individu bahkan asuransi kesehatan.
Katakanlah, total biaya operasional untuk melakukan aneka proyek per tahunRp60 juta.Sekarang, coba perbarui lagi target pendapatan dengan menambahkan (target gaji per tahun + biaya operasional)= Rp260 juta
Jangan pernah remehkan pengeluaran kecil, seperti sewa hosting atau langganan software aplikasi, karena hal-hal yang mungkin kita nilai tidak signifikan ternyata bisa berkontribusi banyak pada biaya-biaya.
Sebagai ilustrasi, pernah menonton film The Accountant? Di bagian adegan awal (tax scene), sang pameran utama (Ben Affleck) yang berprofesi sebagai konsultan keuangan bertanya pada klien pasangan suami istri (petani), tentang berapa luas (ruang spesfik) di rumah yang digunakan sang istri untuk mengerjakan kerajinan, dan mobil truk pribadi yang digunakan untuk mengangkut hasil panen.
See ya, bahkan ketika kita menggunakan properti pribadi untuk kegiatan usaha pun, ada hitung-hitungannya lho, apalagi kalau sudah terkait masalah pajak, harus cermat banget lah.. 😀
3. Kalkulasikan investasi waktu kerja per tahun
Berikutnya, hitung berapa banyak waktu yang bakal dihabiskan untuk melakukan pekerjaan utama. Dalam setahun ada 365 hari. Berapa banyak waktu bekerja yang ingin dihabiskan tentu tergantung pada masing-masing orang. Tapi, jangan lupakan faktor-faktor berikut:
*Waktu liburan
*Waktu sakit (semoga sih nggak pernah sakit ya)
*Jadwal fleksibel
Misalnya, jika rata-rata kerja per hari 8 jam, maka jam kerja dalam setahun menjadi (365 hari x 8 jam) = 2920 jam per tahun.
Jumlah hari libur:
*2 minggu liburan= 112 jam
*48 hari libur akhir pekan= 384 jam
*5 hari (misal sakit)= 40 jam
Jadi, total hari libur= 536 jam per tahun
Total jam kerja ( 2920 jam- 536 jam)= 2384 jam per tahun
Belum selesai nih, itu kan total jam kerja untuk melakukan pekerjaan utama yah. Misalnya, seorang desainer grafis, pekerjaan utamanya: memikirkan konsep, membuat sketsa desain, membuat lay out, mengetik teks atau mungkin print.
Biasanya di luar pekerjaan utama tersebut, seorang freelancer juga harus mengalokasikan waktu untuk aktivitas teknis seperti, melakukan prospek klien baru, telepon, email, promosi, buat invoice atau tugas administrasi lainnya. Katakanlah, untuk melakukan aktivitas tersebut, kamu harus mengalokasikan waktu 25 persen selama jam kerja dalam seminggu.
Nah, berarti kamu bisa men-charge klien dengan sisa jam kerja di luar aktivitas teknis tersebut. Jadi, 2384 jam x 0,75 (sisa waktu di luar hal teknis)= 1788 jam per tahun
Sekarang, bagi target gaji (diperbarui) dengan jumlah jam kerja terakhir.
260 juta per tahun: 1788 jam per tahun= Rp145.413 atau dibulatkan jadi Rp150.000 per jam
Jadi, rate jam kerja kamu adalah Rp150.000 per jam
4. Jangan lupakan value
Oke, sekarang kamu sudah tahu cara menghitung harga per jam. Namun, apakah cara ini berhasil untuk semua pekerjaan? Mungkin juga tidak. Menggunakan rate jam kerja juga sebetulnya punya keterbatasan terhadap potensi pemasukan. Apa itu? WAKTU.
Artinya, cukup banyak waktu yang dihabiskan untuk mendapatkan uang dalam setahun. Masalahnya, rata-rata freelancer bekerja kurang dari 40 jam seminggu, walau sebanyak 79 persen freelancer mengaku, mereka bisa mendapat lebih banyak uang dalam setahun dibandingkan pekerjaan tetap sebelumnya.
Lalu, bagaimana melakukannya? Mereka langsung menetapkan harga untuk jasa tertentu. Coba perhatikan skenario ini:
- Saya butuh waktu 2 jam untuk mendesain sebuah logo Rp150.000/jam
- Saya akan mendesain sebuah logo seharga Rp300.000
Skenario pertama, mungkin akan membuat klien bertanya-tanya, worth it nggak sih bayar freelancer per jam? Mungkin iya, mungkin nggak (tergantung kliennya).
Sekarang, perhatikan skenario kedua, mereka akan bertanya. Jadi bikin logo custom harganya Rp300.000? Ok.
Bisa lihat perbedaannya, orang mungkin akan lebih cepat membayar langsung nilai jasa dibanding nilai waktu. Tentu, apa pun opsi yang kamu pilih seharusnya bisa membuat pendapatan berkembang ya.
Pastikan, untuk jujur pada diri sendiri, apakah kemampuan dan jam terbang yang dipunya sudah pantas dihargai dengan jumlah sekian. Terlebih, kompetisi di luar sana juga sangat ketat.
Ada harga tentu ada kualitas. Kamu pengen bisa dibayar mahal oleh klien korporasi seperti, MakkiMakki atau Ogilvy? Ya, effort-nya jangan setengah-tengah 😀
Selamat mencoba 🙂
Sumber: Forbes/creativelive
Leave a Reply