Seorang sastrawan, George Bernard Shaw pernah menulis: “Hanya 2 persen orang berpikir, lalu 3 persen orang berpikir bahwa mereka berpikir, dan 95 persen orang lebih memilih mati ketimbang berpikir”. Sebegitu sulitkah menjadi manusia yang berpikir?
Pada hampir pertengahan tahun 2000-an, masa-masa di mana saya lagi sibuk memikirkan tentang jurusan kuliah apa yang harus diambil, salah seorang mentor di tempat les saya bilang, “Ambil jurusan kuliah jangan ngikutin artis, filsafat emang mau ngapain,”.
Ya, pada masa itu, artis Dian Sastro memang lagi naik daun gara-gara jadi pameran utama di film AADC. Dan, seperti yang kita tahu, saat lagi tenar-tenarnya sebagai artis, dia juga merupakan mahasiswi jurusan filsafat di UI. Jadi mungkin wajar saja, jika para siswa SMA di masa itu merasa penasaran, sebenarnya filsafat tuh belajar apa sih?
Pandangan banyak orang tentang ilmu filsafat memang beragam, tapi salah satu stigma yang paling terkenal adalah orang yang belajar filsafat itu bisa bikin jadi ateis :D. Belakangan terakhir, orang tetiba ramai membicarakan soal kitab suci fiksi, gara-gara pernyataan yang dilontarkan akademisi UI Rocky Gerung yang menjadi polemik.
Meski, Rocky sudah menjelaskan konteks “fiksi” yang dimaksud dari perspektif keilmuannya, tampaknya memang masih ada kelompok berideologi dendam memanfaatkan situasi tersebut. Berikut adalah artikel menarik yang dibuat oleh seorang lulusan filsafat tentang Untung Ada Rocky Gerung
Filsafat sendiri merupakan induk ilmu pengetahuan berasal dari kata Yunani , filos dan sofia yang artinya kebijaksanaan atau belajar.Di tengah kedangkalan berpikir, tingkat literasi rendah, hingga ujaran kebencian dan hoax yang makin marak di dunia maya, filsafat sebetulnya akan membantu seseorang mampu berpikir lebih rasional, logis, dan obyektif ketimbang mengedepankan sisi emosional semata.
Orang-orang yang belajar filsafat sudah seyogyanya menjadi pembelajar, pemikir, pencetus ide dan perumus kebijakan, bukan bergelut dengan kerja teknis yang mengakibatkan kemandekan dalam menganalisa. Lewat filsafat dan pemikiran kritis pula mampu menghasilkan tokoh-tokoh berpengaruh, sebagian malah masuk daftar orang terkaya dunia.
Raja media, investor, dan pebisnis ulung George Soros mendapat gelar PhD bidang filsafat dari London School of Economics di mana ia banyak belajar dari sang guru Karl Popper. Kekayaannya mencapai 24 miliar dolar.
Co Founder Paypal, investor, dan libertarian Peter Thiel mendapat gelar sarjana filsafat dari Stanford University.
Mantan kandidat presiden partai Republik AS sekaligus mantan CEO Hewlett-Packard Carly Fiorina punya dua gelar sarjana filsafat dan sejarah dari Stanford University. Ia kemudian melanjutkan studi administrasi bisnis di University of Maryland dan manajemen di MIT Sloan School of Management.
Pendiri start up Slack bernilai 2 miliar dolar, Stewart Butterfield punya dua gelar sarjana filsafat dari University of Victoria dan Cambridge. Ia mengaku ilmunya itu berguna untuk memperbaiki pola pikir serta memahami perilaku orang.
Pendiri situs LinkedIn Reid Hoffman, seorang milyuner mendapat gelar master filsafat dari Oxford University. Sebelumnya, ia bahkan ingin menjadi akademisi, sebelum terjun ke dunia teknologi.
Penulis esay mendiang Susan Sontag belajar filsafat di Harvard dan Chicago University sebelum tulisan-tulisannya banyak mengubah pola pikir orang dari mulai isu fotografi hingga AIDS.
Carl Icahn, seorang pebisnis, investor, dan filantropis dengan kekayaan 20 miliar dolar, mendapat gelar akademik filsafat dari Princeton University. Judul tesisnya pun cukup tajam, “The Problem Formulating an Adequate Explication of the Empiricist Criterion of Meaning.”
*berbagaisumber
Leave a Reply