Standar pendekatan pemasaran di era modern yang menekankan pada kesukaan target pasar, hasrat terdalam, serta rasa butuh dan ingin terhadap suatu produk atau jasa mungkin tidak akan terjadi secara masif di masa kini tanpa sosok kontroversial Edward Bernays.
Ia merupakan tokoh yang mengenalkan pendekatan psikoanalisis dalam bidang pemasaran dan hubungan masyarakat di era 1920-an. Dengan pemikiran tersebut, ia berupaya membentuk opini publik dan pengambilan keputusan lewat beragam kampanye persuasif. Berawal sebagai staf public relation lembaga pemerintahan, Bernays mulai dilirik deretan koporasi raksasa.
Tidak heran memang, karena Bernays sendiri merupakan keponakan dari tokoh psikologi termahsyur, Sigmund Freud yang juga dikenal dengan kajian psikonalisa-nya. Di era 1920-an, Bernays semakin menunjukkan tajinya di bidang public relation, setelah sukses meluncurkan dua buku “masterpiece” yakni, Crystallizing Public Opinion (1923) dan Propaganda (1928).
Buku fenomenalnya “Propaganda” bahkan disebut-sebut menjadi inspirasi bagi seorang politisi Nazi dan tangan kanan Hitler, Joseph Goebbels untuk mengangkat pamor Hitler serta menghasut perkelahian jalanan hingga agitasi politik memanas. Goebbels menggunakan beragam kanal publikasi, seperti poster, radio, literatur, media, serta karya seni untuk menyebarkan doktrin Nazi serta kebencian kepada kaum Yahudi hingga terjadi tragedi Holocaust.
“Mereka menggunakan buku saya sebagai basis kampanye destruktif untuk melawan Yahudi di Jerman. Tentu saya terkejut, tapi saya tahu bahwa apa pun aktivitas manusia dapat digunakan untuk tujuan sosial atau sebaliknya malah disalahgunakan,”kata Bernays dalam autobiografinya (1965) seperti dikutip situs theconversation.
Setelah lulus program studi pertanian di Cornell University atas permintaan sang ayah, Bernays merasa tak bahagia dengan pilihan tersebut. Alih-alih menuruti permintaan keluarga yang menginginkannya membuka bisnis di bidang pertanian, Bernays malah bekerja sebagai jurnalis dan editor di sebuah jurnal kesehatan.
Saat perang dunia 1, ia sempat mendaftar militer namun ditolak karena visinya dinilai kurang mantap, hingga ia ditawari sebagai staf komite public relation pemerintahan AS. Bernays bersama jurnalis Walter Lippman membantu menyebarkan informasi ke banyak perusahaan AS di luar negeri mengenai alasan kenapa AS harus ikut berperang lewat slogan “Make the World Safe for Democracy”.
Karir Bernays semakin melesat kala, ia diminta menjadi konsultan iklan beberapa korporasi. Beberapa kampanye Bernays gagal, tetapi sebagian besar lainnya mencatatkan sukses bahkan menjadi benchmark bagi industri periklanan secara umum. Berikut adalah beberapa kampanye penting ala Bernays yang menjadi tonggak sejarah dalam meredefinisi industri pemasaran, iklan, dan komunikasi masa kini:
Torches of Freedom
Tahun 1929, merupakan tonggak awal bagi Bernays memulai sepak terjangnya di bidang public relation korporasi. Saat itu ia diminta oleh sebuah perusahaan rokok untuk mengenalkan produk Lucky Strike kepada kaum wanita.
Masalahnya di era itu, masih sangat tabu bagi wanita merokok di ruang publik. Di satu sisi, berdasarkan riset pasar, kemasan hijau milik Lucky Strike tergolong bukan warna yang disukai kaum wanita pada umumnya, sehingga mereka enggan pula untuk membeli rokok tersebut.
Tapi pihak perusahaan juga tidak bisa mengganti begitu saja warna kemasan, karena membutuhkan biaya tinggi. Bernays melakukan pendekatan unik untuk mengatasi masalah tersebut. Ia kemudian mengadakan parade yang membuat warna hijau identik dengan Lucky Strike.
Bernays meyakinkan para desainer fesyen untuk memasukkan warna hijau ke koleksi musim terbaru mereka, lalu mengadakan “Green Gala” di hotel Waldorf Astoria yang dihadiri banyak tokoh dan trendsetter terkemuka.
Tak sampai di situ, ia juga berupaya menghubungkan rokok Lucky Strike dengan gerakan kebebasan kaum wanita dan feminisme. Di tahun 1929, parade Easter digelar di mana para perempuan berpakaian modis berfoto dengan poster “torches of freedom” Lucky Strike. Brand ini pun lekas menjadi simbol kesetaraan gender di AS selama beberapa tahun.
Hearty Breakfast
Kita mungkin sering mendengar petuah jadul “sarapan adalah makanan terpenting setiap hari”, dan Bernays memasukkan petuah itu untuk kampanye sebuah perusahaan makanan. Sebelumnya, The Beech-Nut Packing Company merasa kesulitan menjual produk daging utamanya (bacon), hingga Bernays mengajukan sebuah pertanyaan menggelitik, “siapa yang harusnya bicara ke publik apa yang harus mereka makan?
Bernays bicara dengan beberapa dokter, di mana mereka menyimpulkan bahwa sarapan “sehat” yang agak berat lebih baik dibanding cemilan seadanya. Rata-rata orang Amerika di masa itu biasanya hanya sarapan jus, roti, dan kopi. Bernays pun berhasil mendapat petisi dan endorse pernyataan 5000 dokter tentang pentingnya sarapan berprotein tinggi dan padat, di mana bisa didapatkan lewat bacon dan telur.
Petisi itu dimuat di koran-koran, hingga mengubah budaya Amerika untuk sarapan lebih berat. Lewat kampanye yang dikenal“bacon & eggs” itulah, penjualan daging bacon perusahaan The Beech-Nut ikut melesat. Tak heran, jika Bernays juga dijuluki sebagai “master of spin” alias ahli “pelintir”.
The Guilt Barrier
Bernays kembali mengimplementasikan metodologi psikoanalisa-nya untuk mengerek penjualan salah satu produk Betty Crocker, yakni resep instan adonan kue. Namun, setelah melakukan riset dan focus group discussion (FGD) terhadap target pasar para ibu rumah tangga di AS, justru ditemukan fakta baru.
Dengan adanya resep instan, mereka merasa bersalah dan tak nyaman jika mengeluarkan sedikit tenaga untuk membuat kue. Berdasarkan hasil temuan itulah, Bernays menyarankan perusahaan untuk memberi ruang partisipasi bagi target pasar agar mereka tetap menambahkan telur dalam adonan. Caranya, buat instruksi “untuk menambahkan dua telur” dalam kemasan.
Dampaknya, penjualan meroket setelah telur menjadi simbol penting dalam kemasan campuran adonan kue itu, sehingga menghilangkan rasa bersalah para ibu rumah tangga.
Soap Sculpture Competition
Demi membantu Procter & Gamble (P&G) memperluas target pasar produk sabunnya (Ivory soap), Bernays mulai menyasar kalangan anak-anak yang cenderung tidak suka mandi dan sabun.Terinspirasi dari seniman yang ia temui ketika menggunakan sabun untuk membuat miniatur patung, Bernays pun menginisiasi National Soap Sculpture Competition tahunan untuk P&G.
Kompetisi ini terus dijalankan hingga 25 tahun yang melibatkan jutaan anak-anak, hingga “ivory soap” semakin melekat di benak masyarakat. Tak sampai di situ, Bernays juga menginisiasi “soap yacht race” di Central Park, serta mempekerjakan konsultan medis untuk menyurvei banyak rumah sakit di AS untuk lebih memilih sabun putih tanpa parfum, seperti Ivory dibanding sabun berwarna dan wangi seperti kebanyakan kompetitornya.
“Banana Republic”
Selain kampanye kontroversial-nya soal rokok, Bernays kembali menggunakan keahliannya untuk menjual pisang dengan menebar politik ketakutan. Tahun 1940, perusahaan raksasa United Fruit Company (UFC) memintanya untuk mempromosikan kegiatan perusahaan di Amerika Selatan.
Menurut Alison Acker dalam buku Honduras: The Making of a Banana Republic, UFC menguasai 80-90 persen perdagangan pisang ke Amerika Serikat. Laba bersih tahunan perusahaan ini pada tahun 1950 (65 juta dolar) melebihi pendapatan nasional Guatemala.
Rakyat Guatemala menunjukkan ketidaksukaan dan menolak eksploitasi sumber daya alam dan praktik buruh murah yang dilakukan perusahaan asing. Tahun 1951, pemimpin baru Guatemala, Jacobo Arbenz melancarkan reformasi lahan untuk memberikan properti bagi petani tak berlahan.
Kebijakan Guatemala itu tidak disukai pemerintah AS, dan konteks perang dingin membuat AS curiga Guatemala telah disusupi unsur komunis. Pandangan itu makin menguat setelah Arbenz berkuasa dan melegalkan Partai Komunis. UFC juga merasa dirugikan dengan penghapusan praktik buruh murah di Guatemela.
UFC melalui kampanye yang digagas Bernays mulai melancarkan penyebaran misinformasi ancaman komunis di negeri yang akhirnya berujung pada kudeta pemerintahan resmi itu. Lewat berbagai artikel yang diterbitkan di media terkemuka AS, New York Times, Newsweek, dll serta bermodal laporan 235 halaman dari sumber anonim, UFC meyakinkan legislatif Guatemala dan masyarakat untuk mengkudeta pemerintah resmi Guatemala.
===
Seperti yang kita bayangkan, metode Bernays masih menjadi perdebatan ekstrem dalam kampanye opini publik dan politik. Tak bisa dimungkiri juga, bahwa sejak dulu kajian ilmu perilaku kerap digunakan demi kepentingan kapitalisme dan kolonialisme.
Edward Bernays mungkin “licik” tapi dialah yang mengenalkan teknik psikologi dalam pemasaran modern hingga melahirkan studi public relation. Ibarat pisau bermata dua, ilmu mau digunakan untuk kebaikan atau malah sebaliknya. The choice is yours …
Sumber:
Preceden
Edology.com:
- “Edward L. Bernays.” Encyclopedia of World Biography, 2nd ed., vol. 2, Gale, 2004, pp. 211-212. Gale Virtual Reference Library.
- “Bernays, Edward L.” The Scribner Encyclopedia of American Lives, edited by Kenneth T. Jackson, et al., vol. 4: 1994-1996, Charles Scribner’s Sons, 2001, pp. 32-34. Gale Virtual Reference Library.
Leave a Reply