“Bagaimana kita berdamai dengan kondisi? Bisnis sesuai passion tapi tidak well profitable, sebaliknya yang gak sesuai passion tapi bikin dompet tebel? “
Begitulah kira-kira pertanyaan salah satu anggota grup kewirausahaan, yang mungkin saja menjadi pertanyaan banyak orang di luar sana, apapun profesi yang digelutinya. Konon, kejenuhan itu bisa diatasi oleh tantangan, dan memiliki usaha sendiri banyak dianggap sebagai sebuah tantangan dibanding bekerja dengan orang lain, tapi kenapa rasa jenuh masih suka datang yah?
Gawatnya, rasa jenuh itu justru kerap datang di masa-masa awal, yang semestinya diisi dengan semangat menggelora. Kembali ke jawaban atas pertanyaan awal di atas, apa yang harus dilakukan? Teman saya lainnya menjawab, cari tujuan dari bisnis itu, sehingga energi kita bisa dialihkan dan didayagunakan sepenuhnya untuk tujuan tersebut.
Ketika menjalani sebuah pekerjaan, tentu saja kita adalah orang yang paling tahu, mengapa kita perlu bekerja, mengapa yang kita jalani ini begitu penting, dan mengapa pula kita mesti memperjuangkannya? Apakah demi uang, popularitas, atau pengakuan massal? Atau selama ini memang kita tidak pernah tahu jawabannya, hanya sekedar ikut-ikutan arus? And then, what’s next? Sebuah pertanyaan sederhana, yang tentu bagi saya membutuhkan waktu cukup lama untuk mencerna dan menjawabnya.
Ada sebuah konsep yang terkenal di Jepang dengan istilah ikigai artinya “a reason for being”. Konsep ini bisa membantu kita mengidentifikasi apa yang kita sukai, apa keahlian yang dipunya, bisa dibayar untuk mengerjakan apa, dan apa yang dibutuhkan dunia. Tanda-tanda di mana kita perlu merekonstruksi visi misi hidup terkait ikigai antara lain, puas namun merasa tak berguna atau nyaman namun merasa hampa.
Spotlight dan The Post
Meski agak telat, baru-baru ini akhirnya saya menyempatkan diri menonton dua buah film berlatar jurnalistik yakni Spotlight dan The Post. Cerita yang disajikan dalam kedua film itu tentu saja bukan sebuah pandangan naif belaka sang produser atau sutradara, karena dua film tersebut memang didasarkan atas kisah nyata di masa lalu yang bisa kita ambil pelajarannya.
Dimulai dari Spotlight, film yang sukses meraih penghargaan Oscar untuk kategori Best Pictures 2016 ini berkisah tentang tim jurnalis investigasi (bernama Spotlight) di Boston Globe, sebuah koran lokal di Boston, AS yang terbentuk sejak tahun 1970. Pada tahun 2001, tim yang dipimpin oleh Walter P Robinson (Robby) diperankan oleh Michael Keaton, mulai melakukan liputan tentang pelecehan seksual yang dilakukan puluhan pastor Katolik kepada anak-anak di Boston.
Laporan itu dipublikasikan pertama kali pada Januari 2002. Setelah itu, tim Spotlight banyak dihubungi oleh para korban pelecehan lainnya tak hanya dari Boston saja, melainkan dari berbagai belahan dunia. Sepanjang 2002, Spotlight telah menerbitkan 600 artikel terkait skandal pelecehan seks para pastor. Saat membaca media online Tirto, yang mewawancarai langsung Kepala Editor Walter Robinson Spotlight saat itu, saya cukup kagum dengan standar yang diterapkannya saat dirinya memilih anggota tim.
Dari kaca mata bisnis, tim Spotlight ibarat “The Dream Team”, mereka merupakan orang-orang yang mampu mengendalikan ego dan saling bekerja sama dengan masing-masing keunggulan yang dimiliki para jurnalisnya. Misalnya saja, Matty Carrol (Bryan d’Arcy James) yang jago menggunakan spreadsheet dan mengolah data, lalu Mike Rezendes (Mark Ruffalo) yang memiliki pengalaman meliput politik karena kasus ini berhubungan dengan pemerintah, serta Sacha Pfeiffer (Rachel McAdams) yang begitu lihai menggali banyak informasi super penting dari narasumber.
Di dalam film juga cukup jelas digambarkan, betapa peliknya mengungkap sebuah kebenaran lantaran gereja memiliki kekuatan besar untuk membungkam institusi hukum selama puluhan tahun. Para pastor yang terlibat kasus pun tidak pernah benar-benar diadili. Namun, tim jurnalis tetap bekerja keras dari mulai mengumpulkan database para pastor yang terlibat, mencari para korban, menghubungi para pengacara yang melakukan tuntutan, meski berkasnya hilang tanpa jejak.
Selama proses pencarian data dan fakta yang digambarkan dalam film, sangat terlihat gelora semangat para tim yang sudah gemas dengan skandal pelecehan yang sekian lama ditutup-tutupi tersebut. Tahun 2003, tim ini mendapatkan Pulitzer, sebuah penghargaan tertinggi bagi dunia jurnalistik di Amerika Serikat.
Selain Spotlight, film jurnalistik yang juga diangkat dari kisah nyata tentang media vs pemerintah adalah The Post yang baru saja dirilis akhir tahun lalu. Film garapan sutradara beken Steven Spielberg ini juga dinominasikan dalam banyak ajang penghargaan, termasuk nominasi Film Terbaik Oscar 2018 serta berhasil menyabet penghargaan Film Terbaik 2017 oleh National Board of Review.
Berkisah tentang duo petinggi koran The Washington Post, sang pemilik, Katharine Graham (Meryl Streep) dan Kepala Editor Eksekutif, Ben Bradlee (Tom Hanks) yang berupaya mengungkap dokumen rahasia Pentagon Papers berisi kajian tentang perang AS-Vietnam 1957-1975.
Berdasarkan riset mantan militer Dan Ellsberg (Matthew Rhys), anak buah Menteri Pertahanan Robert McNamara (Bruce Greenwood), dokumen itu menyatakan bahwa, AS sangat mustahil bisa memenangi perang melawan tentara komunis Vietkong disokong Vietnam Utara, China, dan Rusia.
Namun, karena alasan gengsi sebagai negara adidaya, pemerintah AS selalu berdalih bisa menaklukkan Vietnam. Mereka terus mengirimkan ratusan ribu tentara muda AS ke Vietnam, di mana korban berjatuhan di pihak AS sudah tak mampu dibendung lagi.
Pemerintah AS terbukti telah membohongi publik selama puluhan tahun. Singkat cerita, ribuan lembar dokumen rahasia itu difotokopi Dan Ellsberg, lalu diberikan ke dua surat kabar The New York Times dan Washington Post. Drama pun dimulai, saat berita itu dimuat oleh New York Times, koran tersebut harus menghadapi tuntutan hukum pemerintah atas pelanggaran UU spionase.
Kejadian ini kemudian membuat Kay Graham sang pemilik Washington Post, di mana perusahaannya yang baru saja melantai di bursa harus menghadapi dilema antara tetap memuat Pentagon Papers demi kehormatan dan harkat martabat negara, atau menyelamatkan bisnis dan hubungan baiknya dengan para politisi. Dibantu oleh Ben Bradlee, sang Kepala Editor yang tegas, idealis, dan tak takut apa pun demi prinsip jurnalisme, tentu kalian sudah tahu jawabannya. Pentagon Papers tetap diterbitkan The Post apa pun resikonya.
Salah satu ulasan menarik tentang bagaimana relevansi antara film The Post dan potret bisnis konglomerasi media di Indonesia zaman sekarang, juga bisa dibaca Catatan tentang Film The Post. (Saya tidak bermaksud mengagungkan media Barat, karena sesungguhnya tidak ada satu media pun di dunia ini yang bebas kepentingan. Ambil yang baik, buang yang buruk 🙂 )
Kembali ke topik, saya bisa membayangkan, betapa penting dan berharganya menjadi bagian dari tim Spotlight atau redaksi The Post yang kala itu harus mengemban sebuah misi besar demi keadilan dan kepentingan publik. Sebuah misi yang selama ini kerap digaungkan oleh para aktivis kebebasan pers melawan kepentingan busuk segelintir elit. Tentu, mereka punya pilihan, tapi pilihan yang didasarkan hati nurani-lah yang kemudian menjadi “the truly happiness”. They work for the cause …
Kala hati nurani sudah tak mampu lagi bersuara, tak ada bedanya lagi antara manusia dan robot yang sekedar mengerjakan rutinitas belaka sambil nunggu gajian. Hari demi hari, bulan demi bulan, tahun demi tahun, terus kayak begitu… tau-tau usia makin senja, tinggal menunggu mati. Saya juga bisa membayangkan, bagaimana mengemban sebuah misi idealis begitu berharga ibarat karakter fiksi James Bond yang mengemban misi penting MI6 hingga mempertaruhkan nyawa demi menyelamatkan dunia.
Rasa menjadi berharga dan berarti karena seseorang bisa menjadi bagian yang memberi dampak penting, sekecil apa pun akan membuat spirit dalam diri tetap hidup dan menggelora. Ada kepuasan batin yang tak bisa dibayar uang. Pun, saya masih percaya memiliki misi yang idealis adalah alasan kenapa kita harus terus bekerja dan memperjuangkan sesuatu. So, why do we have to do this?
Leave a Reply