Brand yang mampu menciptakan budaya cenderung lebih sukses dibandingkan yang hanya sekedar ikut tren budaya tertentu. Apa sih sebenarnya arti budaya itu? Budaya dalam arti luas merupakan kombinasi atas gagasan/pola pikir, perilaku, dan artefak (hasil karya) manusia, termasuk di dalamnya ada unsur seperti, kepercayaan, ritual, dan bahasa. Dalam praktiknya, budaya kita adalah identitas kita.
Kerap kali, kita juga menggunakan brand sebagai lencana identitas kita. Sayangnya, bagi brand, mereka kadang tak memiliki pilihan terhadap budaya seperti apa yang harus diadopsi sebagai alat identifikasi. New Balance, misalnya, sempat menghadapi reaksi keras setelah Neo-Nazi mengumumkan brand tersebut sebagai “sepatu resmi orang-orang kulit putih”.
Hal serupa juga pernah dialami Papa John’s, Tiki Torches, maupun Yuengling ketika gerakan Neo Nazi juga mengekspresikan hubungan mereka dengan perusahaan-perusahaan tersebut. Dampaknya, brand-brand itu juga harus merasakan semacam kutukan yang dialamatkan via kanal media sosial masing-masing.
Namun, bagaimana jika sebuah brand memiliki kontrol lebih terhadap budaya yang berhubungan dengan mereka? Bagaimana jika sebuah brand fokus menjadi pemimpin budaya?
Chief Consumer Officer sebuah brand agency Doner yang berbasis di Detroit, AS Marcus Collins berupaya mengeksplor hal itu lebih jauh dalam forum Social Media Week di LA. Menurutnya, sebuah brand akan mendapat keuntungan ketika mereka memiliki kedekatan dengan suatu budaya.
Dalam forum itu, Collins melempar sebuah pertanyaan kepada penonton, jika kalian sedang berada di toko elektronik mencari headphone, merk headphone apa yang akan kalian beli? Rata-rata penonton akan menjawab “Beats”.
Beats by Dre mungkin bukanlah headphone terbaik, namun mereka memiliki kedekatan dengan budaya. Dalam serial televisi HBO “The Defiant Ones” yang menceritakan persahabatan dua orang jalanan cerdas Jimmy Iovine dan Dr Dre, dikisahkan bahwa Dr Dre ingat saat dirinya dibujuk seseorang untuk mempromosikan sepasang sepatu, hingga akhirnya Jimmy Iovine mengatakan padanya agar tetap menjalankan bidang sesuai passion-nya, yakni musik.
Lantaran latar belakangnya, Dr Dre secara otentik mampu menghubungkan budaya dan para pecinta musik.
Sebuah Pesan dari Kodak
Kalau kamu melihat foto-foto di zaman dahulu, mungkin kamu akan mendapati sebagian besar orang di dalam foto itu tidak tersenyum. Kondisi ini tentu jauh berbeda dengan budaya selfie zaman sekarang, di mana orang-orang di dalamnya cenderung ingin menampilkan sisi bahagia hidup mereka.
Menurut Collins, di masa lalu orang enggan tersenyum lantaran gambar yang akan dihasilkan begitu lama diproduksi. Belum lagi saat itu, dalam seni, senyuman adalah karakteristik petani, orang mabuk, dan anak-anak. Mereka tak ingin senyum lantaran tak ingin diasosiasikan dengan kelompok itu.
Kebiasaan itu lama-lama terkikis seiring teknologi yang semakin mempercepat proses. Kodak yang didirikan di Rochester, NY mampu memproduksi kamera-kamera keren, sayangnya ada masalah besar di balik itu. Orang menganggap jika ajang foto-foto hanya diperlukan di event serius. Dampaknya, mereka tak cukup sering berfoto.
Untuk merespon hal itu, Kodak berupaya mengubah kepercayaan budaya tentang mengambil foto. Pesan mereka adalah “You smile in photos because these are captured moments of joy”, yang kini kita kenal dengan jargon Kodak Moment. Para peneliti pun menemukan, semakin banyak orang tersenyum di album foto dari tahun ke tahun. Dampak yang dihasilkan Kodak begitu masif hingga akhirnya mereka tertinggal dengan tren budaya baru, kebangkitan foto digital.
Salah satu contoh menarik di dalam negeri juga, misalnya kemunculan para desainer busana muslim, seperti Dian Pelangi dan Ria Miranda yang menghasilkan rancangan jilbab modis dengan kombinasi ragam warna dan model bagi perempuan muda turut mengubah persepsi tentang jilbab yang terkesan old dan ketinggalan zaman. Tak pelak, persepsi itu kemudian menjadi sebuah gerakan budaya tersendiri di mana komunitas-komunitas hijabers yang tampil kece begitu semarak muncul di berbagai kota di Tanah Air.
Collins menjelaskan, fungsi inti pemasaran adalah tentang memengaruhi perilaku manusia. Pemasar perlu mampu menciptakan katalisator budaya di mana orang akan membicarakannya, dimulai dari riakan kecil di grafik sosial hingga akhirnya bisa mengubah cara pandang banyak orang. Tak hanya penting untuk pemasaran, inilah bagaimana semestinya bisnis itu berjalan.
Dikutip dari HBR, Co Founder Fast Company Bill Taylor mengatakan, banyak pemimpin bisnis yang dikenalnya paham bahwa sukses tak hanya sekedar upaya pemasaran yang beda dari perusahaan lain, sebut saja lebih banyak iklan online, lebih banyak produk, penggunaan media online yang agresif.
Namun, yang lebih penting, tentang bagaimana kepedulian bisnis terhadap konsumen, kolega, dan bagaimana sebuah organisasi memimpin dirinya sendiri di dunia yang menawarkan begitu banyak peluang untuk memangkas biaya dan kompromi terhadap nilai-nilai.
Socialmediaweek/HBR
Leave a Reply