Tahun 2010, film Inception yang disutradarai sekaligus ditulis sendiri naskah skenarionya oleh Christopher Nolan meledak di pasaran. Plot cerita yang unik dan jenius serta dibintangi para aktor papan atas tentu saja menjadi daya tarik tersendiri bagi audiens. Namun, film ini memang tidak mudah dikunyah dengan sekali tonton. Saya sendiri baru benar-benar bisa memahami jalan cerita Inception secara utuh setelah menontonnya 2x 🙂
Inception pada dasarnya menggambarkan tentang kisah pencurian ide dan penanaman ide baru di benak orang lain melalui mimpi. Tokoh utama, Dom Cobb (Leonardo DiCaprio) bersama tim spesialis-nya berupaya menuntaskan misi tersebut, hingga di tengah jalan mereka harus dihadapkan pada musuh berbahaya.
Apa yang digambarkan dalam film itu nyatanya benar-benar “relate” dengan para pelaku branding dan periklanan yang sadar betul akan agenda tersebut. Ide merupakan awal yang penting dalam menyampaikan pesan pemasaran. Pemasaran yang berhasil idealnya harus punya seni dalam memengaruhi cara pandang dan bertindak orang lain. Alih-alih gembor gembor tentang fitur produk, pemasar yang terampil cenderung fokus pada pesannya.
Mau tahu trik-trik yang dilakukan banyak korporasi untuk menjual produk dan meyakinkan target pasarnya?
Penemuan “Coffee Break”
Berbeda dengan kondisi masa kini, tahun 1950-an, kopi justru menjadi produk yang dianggap basi. Saat itu, masyarakat Amerika umumnya berpikir kalau kopi adalah sesuatu yang tidak berkelas, dan hanya dikonsumsi dengan tujuan agar tidak “mengantuk”.
Untuk mengantisipasi masalah tersebut, perusahaan kopi bersatu mendirikan Pan-American Coffee Bureau. Mereka menggelontorkan 2 juta dolar per tahun agar orang Amerika kembali mencintai kopi. Untuk rencana aksinya, asosiasi kopi ini juga merekrut psikolog John B. Watson dalam penyusunan kampanye iklan kopi.
Ide: Watson memberitahu beberapa pabrik selama Perang Dunia II, agar memberi para pegawai mereka waktu beberapa menit istirahat serta secangkir kopi untuk membuat mereka bugar kembali. Memanfaatkan ide “work less” sembari menjual kopi merupakan sesuatu yang brilian. Watson kemudian menjalankan seri iklan yang masif dengan ide “coffee break”.
Salah satu iklannya, menggambarkan pasangan bahagia yang tengah duduk santai, tanpa bekerja, sembari minum secangkir kopi. Di akhir tahun pertama, 80 persen perusahaan mulai memberikan waktu istirahat bagi karyawan mereka. Namun, mereka tidak menyebutnya sebagai “cola break”, “candy bar break”, atau “cubicle break”, melainkan “coffee break”. Inilah salah satu ide jenius pemasaran sepanjang sejarah.
McDonald: “Bigger is Better”
Jika menengok era 1960-an, mungkin kita akan terkejut melihat betapa kecilnya porsi makanan fast food saat itu. Secara ekonomi, hal ini tentu masuk akal di mana porsi kecil sama dengan harga murah. Jika ingin tambah, maka pelanggan harus memesan lebih. Kala itu, tentu lebih menguntungkan menjual 2 kemasan kentang goreng dibanding menjualnya dalam satu ukuran besar.
Namun, pimpinan McDonald saat itu, Ray Kroc mulai mendapati laporan dari banyak cabang, tentang penjualan yang melambat pada tahun 1970-an. Ia lalu merekrut seorang inovator dalam industri hiburan, David Wallerstein untuk mencari tahu penyebabnya. Wallerstein mulai melakukan riset dengan mendatangi beberapa cabang McD di sekitar Chicago untuk memperhatikan bagaimana orang makan di sana.
Wallerstein mencatat tren yang cukup ganjil di mana orang akan duduk, lalu memilih bagian paling bawah kantong kentang goreng mereka. Sementara yang lainnya, mencoba untuk tidak menghisap soda berlebihan di cangkir kecil, namun mereka tidak pernah kembali untuk membeli lagi. Di sinilah Wallerstein menyadari bahwa ada stigma sosial jika terlihat memesan porsi ekstra, maka banyak orang akan menghakimi kerakusan mereka.
Ide: Solusi Wallerstein cukup sederhana. Ia menjalankan ide agar pelanggan mau memesan lebih porsi makanan. Taruh di menu, promosikan, dan naikkan harga sedikit. Para kasir juga dilatih untuk menawarkan porsi lebih besar ke pelanggan, dengan menaruh pesan “It’s totally OK to eat twice as much food as is recommended for a person your size, and in fact we would prefer if you did.” Wallerstein melakukan pitch ide ke Kroc, dan ia pun setuju.
Alka Seltzer: “Doubles Dosage”
Alka Seltzer merupakan satu dari banyak produk aneh yang tampaknya tidak punya kompetitor di masanya. Idenya sendiri adalah memasukkan dua tablet ke dalam segelas air putih, yang kemudian bercampur hingga cairan berubah warna. Saat seseorang meminumnya, mereka merasa lebih baik.
Salah satu kampanye yang dilakukan Alka Seltzer adalah iklan di televisi pada jam utama di era 1970-80’an diiringi jingle uniknya, “Plop, plop, fizz, fizz”, cukup dua tablet. Kata “plop” yang diulang hingga dua kali, memerintahkan ke alam bawah sadar audiens agar mengonsumsi lebih banyak.
Ide:
Di era 1960-an, sebetulnya kampanye mereka menginstruksikan untuk mengonsumsi satu tablet. Namun, penjualan tetap stagnan. Maka, mereka membutuhkan cara bagaimana memasarkan produk itu ke pelanggan yang lebih muda, serta mendorong mereka untuk membeli lebih banyak. Solusinya, katakan pada mereka untuk menggunakan dua tablet, meski tidak membutuhkannya.
Menariknya, perusahaan tidak pernah menjelaskan kepada pelanggan mengapa harus dua tablet. Namun, lewat maskot kartun lucu yang bernyanyi dengan jingle uniknya, siapa yang mampu berargumen?
“Plop, plop, fizz, fizz, oh what a relief it is”
Sumber: diolah dari Cracked/TwinCreekMedia
Leave a Reply