“There is no more truth out there than there is in the world I created for you. Same lies. Same deceit. But, in my world, you have nothing to fear,” Christof (The Truman Show)
Bukan cerita baru, kalau sebagai manusia kita suka sekali bicara tentang diri sendiri. Menurut kajian psikologi, manusia bisa membicarakan tentang dirinya hingga memakan porsi 30-40 persen dalam obrolan. Namun, di era digital seperti sekarang, kita punya peluang hingga 80 persen untuk merepresentasikan diri lewat ragam postingan media sosial.
Tak seperti di dunia nyata, di mana banyak orang tak punya cukup waktu untuk bicara, namun dengan kehadiran media online, kita lebih punya waktu untuk merekonstruksi keadaan bagaimana kita ingin dilihat orang lain.
Yup, berkat media sosial, siapa saja bisa bicara tentang apa pun, misal soal keseharian hidup sepertinya kurang afdol kalau tidak dipertontonkan dan dinarasikan. Tak terlalu penting pula, apakah itu nyata atau palsu. Contohnya saja……
Mampang-Kuningan maceeettt paraaahhh!!
I’m happy be with you, since we first met….
Panas siang-siang gini, yummy bangettt gelatonya….
Enjoying my life, no matter what they say……
Touch down Raja Ampat….
Hehe… ya tentu sebelum nyinyir orang lain, kadang saya sendiri juga suka begitu, kadang pamer, kadang nyampah 😀 Fenomena semacam ini kemudian membuat saya penasaran akan sebuah film satir sosial yang dirilis tepat 20 tahun lalu, yakni The Truman Show. Saya memang tidak terlalu suka film komedi Barat dan jujur ini baru film kedua Jim Carrey yang saya tonton, setelah The Mask waktu masih SD pulakk.. 🙂
“Kami sudah bosan dengan akting para aktor di layar kaca. Di tengah dunia yang penuh kepalsuan, kami butuh sesuatu yang lebih orisinil dan sungguhan.” Begitulah kira-kira ungkapan Christof (diperankan Ed Harris) sang kreator reality Truman show mengawali babak pembuka film ini.
Berkisah tentang seorang sales asuransi kantoran, Truman Burbank yang akhirnya menyadari bahwa selama 22 tahun hidupnya adalah sebuah rekayasa demi tontonan televisi semata. Truman hanya hidup dalam satu set studio raksasa di Hollywood, bernama Pulau Seahaven, di mana semua orang dalam kehidupannya, dari mulai keluarga, tetangga, maupun teman-teman kantornya adalah para aktor dan aktris yang tengah berakting.
Namun, tak seperti reality/talent show yang kebanyakan kita tonton di televisi, di mana para kontestan di dalamnya tahu sedang disorot, Truman sama sekali tidak tahu bahwa dirinya hidup dalam sebuah dunia rekayasa yang dilengkapi 5000 kamera untuk memantau setiap gerik-gerik kehidupannya.
Para penonton Truman Show digiring untuk percaya bahwa Truman hidup dalam kesempurnaan dan kebahagiaan, kendati sebagai manusia biasa ia sendiri pernah merasa kecewa dan tak bermakna. Sejak lahir, Truman sudah kehilangan kontrol atas hidupnya sendiri.
Seperti yang pernah diungkapkan sahabat Truman, Marlon di film itu, “Semuanya nyata. Tak ada yang palsu. Semuanya telah terkontrol”. Inilah sebuah pertunjukan yang telah dikonstruksi dan dikontrol demi mencapai rating tinggi dan kepentingan komersil.
Tahun 2018, The Truman Show semakin terasa otentik, mengingat perkembangan masif acara reality show di televisi, media sosial, dan kabar hoax. The Truman Show adalah sebuah film yang dengan lantang menyuarakan topik yang mungkin tak terlalu populer, seperti metafisika, utopia, realitas palsu, dan kekuatan media massa.
Bahkan, film ini memunculkan sebuah sindrom baru, the Truman Show delusion, yakni orang-orang yang percaya bahwa hidup mereka layaknya sebuah pertunjukan yang kerap direkam dan ditonton orang. Para pengguna media sosial, misalnya, lewat ragam fitur seolah dibuat terus kecanduan untuk mengontruksi “The Truman Show” versi mereka.
Kamera selalu siap di mana saja, lihat apa yang saya makan, tonton, dan lakukan…. Apakah semua itu cukup menghibur? Berkat media sosial pula, semua orang bisa menjadi jurnalis, aktor, aktris, sutradara, sekaligus penulis naskah. Konsep “pribadi” dan “publik” secara perlahan mulai tak ada bedanya lagi.
Namun, satu pesan menarik dari film ini adalah, bukan hanya Truman yang terjebak dalam dunia kecilnya, melainkan juga para penontonnya. Para penonton The Truman Show menjadi korban dari obsesi media, mereka sedikit naif, sekaligus terperangkap dalam emosi pertunjukan saja. Pengaruh yang dilakukan Christof dan krunya sukses menciptakan imej publik bahwa Truman lebih baik hidup dalam dunia rekayasa dibandingkan di dunia nyata dan menggunakan justifikasi ini untuk menutupi kewajiban moral.
Mungkin, pertanyaan seorang filsuf Prancis Rene Descartes tentang bagaimana kita percaya pada dunia yang eksis, sementara kita ditipu oleh para penjahat jenius, sudah sedikit terjawab lewat The Truman Show. Kini, para penjahat jenius bisa saja adalah para pemilik modal dan pekerja media massa….. dan para penonton yang tak mampu mengontrol diri siap-siap ikut terjebak di dalamnya….
Well, who knows? 🙂
Baca juga: Maraknya Konten Seksis, Refleksi Kaum yang Doyan Dicumbu Sensasi
Source: Vulture/Odyssey/Bufferapp
Leave a Reply