Bagi yang pernah menonton seri kartun Toy Story, pasti sudah paham pesan kuat yang disampaikan lewat film produksi Pixar tersebut. PERUBAHAN. Dalam dunia manajemen, kondisi tersebut dikenal dengan istilah VUCA (Volatility, Uncertainty, Complexity, Ambiguity) yang menjadi tantangan bagi hampir setiap pemimpin organisasi.
Salah satu aspek yang tak luput dari perubahan adalah dunia periklanan. Di era 1980 hingga awal 2000-an, biro-biro iklan di Indonesia begitu berjaya seiring perkembangan industri media cetak Tanah Air. Namun, apa yang terjadi dengan para biro iklan itu kala perusahaan raksasa seperti, Facebook dan Google sudah merajai pangsa pasar iklan digital saat ini? Tentu, kita sudah paham jawabannya.
Chief Marketing Officer Airbnb Jonathan Mildenhall mengatakan, seiring berjalannya waktu tidak ada industri yang tak tersentuh teknologi. Kini, teknologi menjadi disruptor terbesar yang mampu mengeliminasi jarak dan waktu sekaligus membuat sebuah ide dapat di-scale up lebih cepat lantaran perspektif kita terhadap dunia semakin terkoneksi.
“Tapi, mengapa banyak bisnis besar yang terlambat menyadari peluang sekaligus ancaman ini?”, ujarnya.
Kita bisa melihat bagaimana aturan dalam dunia iklan dan branding berubah secara radikal. Kala brand-brand dari korporat besar memiliki birokrasi rumit nan panjang dalam pengambilan keputusan, maka di luar sana ada banyak para pemain personal maupun UKM yang mampu menjual produknya ke seluruh dunia hanya lewat jaringan internet.
Teknologi digital telah mentransformasi cara kita berkomunikasi, belajar, dan belanja. Mereka juga telah mendisrupsi bagaimana masyarakat mengonsumsi berita dan media. Maka, hubungan kita dengan brand pun juga turut berubah. Semakin hari, konsumen kian menuntut agar brand lebih responsif, terhubung, serta menawarkan pengalaman otentik.
Maka tak heran, jika brand yang kuat dan tahan lama adalah brand yang memiliki otentisitas mendalam dibanding hanya menjalankan kampanye semata. Brand yang kuat juga bicara tentang kejujuran bagaimana sebuah organisasi usaha dijalankan secara holistik, tidak sekedar mengurus soal font desain, logo, atau bentuk komunikasinya.
Dibanding hanya sibuk mengurus hal-hal yang sifatnya simbolis, alangkah baiknya brand mampu menggali akar visi misi hingga menjadi agent of change yang mampu selalu beradaptasi terhadap perubahan arah agar lebih kuat.
Pada dasarnya, brand yang kuat memiliki 3 elemen:
Brand sebagai kepercayaan
Membangun DNA value sebuah brand bisa dimulai dari tujuan yang ingin dicapai baik oleh pemilik bisnis dan konsumen.
Brand sebagai strategi
Di tengah kondisi pasar yang kian berdarah-darah persaingannya, maka brand bisa menjadi strategi untuk menumbuhkan penjualan saat ini. Kerangka kerja yang baik mampu menciptakan keunggulan kompetitif.
Brand sebagai pengalaman
Sebuah brand bisa memiliki kekuatan atas dasar pengalaman konsumennya. Maka, ada pepatah bilang, butuh bertahun lamanya untuk membangun, namun hanya sekian detik untuk menghancurkannya.
“Be interested in what people are interested in. Compete for their attention on their terms, not on yours.”
Gareth Kay, Chief Strategy Officer, Goodby, Silverstein and Partners
Sumber: HBR/briliannoise.com
Leave a Reply