facebook

Seandainya Facebook Benar-Benar Diblokir

Awal tahun 2018, CEO Facebook Mark Zuckerberg sempat mengumumkan kebijakan baru tentang reformasi algoritma platformnya lantaran dipicu keluhan banyak pengguna yang sudah muak dijejali beragam iklan dan kabar hoax. Dalam keterangan persnya, Zuckerberg berjanji jika Facebook akan mengembalikan prioritas konten lini masa yang berasal dari teman dan keluarga untuk menciptakan interaksi sosial yang lebih berarti. Dampaknya, Facebook pun akan meminimalisasi konten publik yang diproduksi oleh laman bisnis dan media tampil di lini masa pengguna.

Tak lama berselang,  Zuckerberg langsung ditampar  skandal isu kebocoran 87 juta data pengguna Facebook oleh pihak ketiga secara ilegal, bernama Cambridge Analytica, sebuah firma yang membantu kampanye Donald Trump menargetkan iklan politik di Facebook.

Tokoh publik, seperti pendiri WhatsApp Brian Acton pun menggaungkan gerakan #DeleteFacebook dan #BoycottFacebook di akun Twitter yang kemudian diikuti banyak netizen lainnya. Seolah tak ingin ketinggalan, CEO Tesla, Elon Musk juga menghapus laman Facebook kedua perusahaannya, SpaceX dan Tesla yang masing-masing memiliki jumlah pengikut sekitar 2,6 juta, menjawab tantangan sebagian pengikutnya.

Sebagai negara nomor empat dengan penduduk terbesar dunia, Indonesia ternyata masuk urutan ke-3, di mana angka kebocoran data pengguna Facebook mencapai 1,09 juta, setelah Amerika Serikat (70,6 juta), dan Filipina (1,17 juta). Hal itu akhirnya memancing reaksi wakil rakyat di Senayan untuk memberikan rekomendasi pada pemerintah agar layanan Facebook dimoratorium, jika mereka tidak memberikan hasil audit terkait pencurian data pengguna sesuai tenggat waktu yang ditentukan yakni, 30 hari.

Chris Anderson, dalam bukunya Makers, menjelaskan betapa dalam 10 tahun terakhir, internet telah berevolusi terhadap cara-cara orang berperilaku, termasuk kegiatan perdagangan. Maka, muncul istilah The New Industrial Revolution. Era ini antara lain ditandai oleh bermunculannya para entrepreneur “Do It YourSelf (DIY), berkembangnya industri artisan, dan berakhirnya dominasi produk massal di pasaran.

Facebook, tak bisa dimungkiri menjadi salah satu platform paling sukses di dunia yang mampu menjembatani antara para “Makers” dan komunitas pasar global. Apa yang tak mungkin dilakukan di masa lalu, semuanya jadi serba mungkin di era ini. Tanpa media sosial, mungkin kita tidak akan mengenal Kampung Marketer yang didirikan oleh seorang pemuda, Nofi Bayu di Desa TanjungMuli, Purbalingga Jawa Tengah. Ia pun menggandeng para warga di sana untuk terlibat aktif dalam bisnis online hingga mampu memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Survei yang pernah dilakukan idEA (Indonesian E Commerce Association) terhadap 1800 responden di 11 kota besar di Indonesia terkait sebaran pelaku usaha digital yang menggunakan ragam platform juga menunjukkan kekuatan media sosial dalam pengembangan ekonomi digital. Temuan idEA baru-baru ini, ternyata hanya 16 persen saja para pelaku UKM yang memanfaatkan marketplace, seperti Tokopedia atau Bukalapak untuk berjualan. Persentase paling besar sebanyak 59 persen, justru mengaku aktif berjualan di media sosial.

Facebook menjadi platform paling populer untuk berjualan dengan persentase 43%, disusul  Instagram sebanyak 5%, dan sebanyak 11% berjualan di multikanal melalui platform Facebook dan Instagram. Meski, perputaran ekonomi yang terjadi dari penjualan produk melalui platform media sosial sangat besar, namun sulit menghitung berapa besar transaksinya lantaran belum ada lembaga yang resmi mengkaji dan merilis data tersebut.

Mengutip venturesafrica.com, (28/2/2016), kontribusi terbesar pendapatan Facebook memang berasal dari iklan serta performa dua anak perusahaannya yang kian ciamik seperti Instagram dan Whatsapp. Bagi para pemasar atau perusahaan media, memanfaatkan fitur iklan Facebook, seperti saved audience, custom audience, dan lookalike audience tentu bukan lagi hal asing. Dengan bermodal anggaran minimal dua digit saja, para pemasar atau pebisnis online bisa punya potensi mengantongi pendapatan hingga 10 kali lipatnya.

Cara kerja tersebut hampir mustahil bisa dilakukan oleh media konvensional, seperti cetak atau televisi yang dikenal mematok anggaran tinggi beriklan, namun cenderung sulit diukur efektivitas dan kinerja iklannya. Tampak manis di permukaan, Facebook memang banyak melahirkan para “Makers” jutawan dan miliarder baru di era digital. Tak heran, makin banyak agensi yang berlomba-lomba menawarkan kursus dengan varian tarif demi menggaet calon pebisnis yang penasaran ingin menaklukkan iklan Facebook.

Namun, skandal kebocoran data pengguna Facebook oleh Cambridge Analytica ini sekaligus juga membuka mata kita selebar-lebarnya, di mana umat manusia saat ini mungkin telah berada dalam sebuah fase agak menyeramkan, yang disebut oleh praktisi pemasaran Yuswohady, sebagai Imperialisme 3.0. Sebuah fase di mana penguasaan oleh negara, korporasi, atau individu terhadap  kehidupan melalui penguasaan dan manipulasi data privat yang besar (big data).

Data privat kita dari mulai pencarian Google, interaksi di Facebook, lokasi di Waze, dan transaksi di situs e commerce diekstrasi dan dianalisis sedemikian masif, membuat para korporasi ini menjadi tak tertandingi alias “unstoppable”. Inilah cara-cara yang dilakukan perusahaan paling bernilai di dunia dari segi valuasi yang dibahas oleh Profesor Marketing New York University, Scott Galloway dalam bukunya yang berjudul The Four: The Hidden DNA of Amazon, Apple, Facebook, dan Google.

Data-data privat itu kemudian dibaca dan dimanipulasi untuk memengaruhi dan membentuk perilaku manusia di mana dengan algoritma tertentu bisa digunakan untuk mengontrol dan mengarahkan tindakan kita sesuai kepentingan si pengolah data. Di balik revolusi industri baru dan big data, bisa jadi ini menjadi gerbang awal menuju perampasan kedaulatan kemanusiaan lewat kontrol algoritma para raksasa.

Skandal yang menimpa Facebook kali ini tentunya memberi pelajaran berharga lainnya, bagaimana media sosial turut serta menghancurkan nilai-nilai humanisme. Di tangan para pencipta hoax dan ujaran kebencian yang lihai, ratusan ribu atau jutaan pengikut mereka bisa dengan mudah disulut emosinya, menciptakan kedunguan kolektif sekaligus suasana yang kian tak sehat dan kondusif.

Zuckerberg kerap memberi jawaban tak memuaskan saat dicecar pertanyaan sinis bertubi-tubi dari Kongres AS mulai soal kebocoran data, hingga peredaran obat-obatan ilegal yang terjadi lewat platformnya. Kini, ia harus menelan pil pahit penurunan nilai saham dan hengkangnya beberapa pegawai Facebook terkait skandal.

Hal ini menjadi ancaman serius bagi Facebook jika Zuckerberg enggan berkomitmen melakukan upaya perbaikan, misalnya mengubah model bisnis demi melindungi para pengguna. Para pakar teknologi, memprediksi jika skandal Facebook dan Cambridge Analytica bisa menjadi titik awal keruntuhan perusahaan jejaring sosial terbesar di dunia itu.

Alih-alih di mana kita sedang dipertontonkan oleh cerita-cerita  heroik penemuan teknologi terbaru menuju kejayaan manusia, di sisi lain kita juga sedang terkungkung dalam labirin yang kemudian bisa dimanipulasi untuk saling membinasakan tatkala kita lengah.

Selamat datang di peradaban baru, era di mana hanya segelintir elit yang menguasai sekaligus mengendalikan kehidupan umat manusia. Segala aktivitas kita di dunia maya adalah eksperimen tanpa batas bagi mereka.


Posted

in

by

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!