Seperti halnya banyak pekerjaan lain, menjadi tenaga penjual baik produk atau jasa mestinya bukan tipe pekerjaan asal jadi, melainkan perlu pembibitan dan strategi demi mendapat hasil yang maksimal pula.
Tak heran, insentif dan motivasi tidak selalu efektif sepenuhnya untuk mendongkrak daya juang para sales. Di perusahaan besar, divisi sales dan pemasaran idealnya saling bekerja sama satu sama lain untuk menciptakan strategi penjualan yang tepat.
Tugas orang pemasaran adalah menyusun konsep pengembangan dan promosi produk, di mana mereka harusnya lebih tahu produk dan jasa tersebut lebih cocok diarahkan ke segmen pasar seperti apa. Nah, giliran orang sales yang berperan untuk meyakinkan pangsa pasar yang ditarget itu, bekerja secara terstruktur, dengan manajemen dan sistem kontrol yang kuat.
Sayangnya, masih banyak orang menganggap remeh pekerjaan seorang tenaga penjual, sehingga kerap kali mereka tak dibekali wawasan apa pun. Padahal tidak ada perusahaan di dunia ini yang bisa eksis bertahan bahkan tumbuh tanpa didukung angka penjualan yang baik.
Makanya, tak heran kalau di beberapa perusahaan bergengsi, mengelola tenaga sales itu ibarat mengelola tentara perang. Maklum saja, mereka adalah orang-orang yang beperan penting memasukkan darah ke perusahaan untuk tetap hidup.
Kalau kamu pernah menonton film The Pursuit of Happyness atau The Wolf of Wall Street yang keduanya sama-sama diambil dari kisah nyata, kita bisa melihat antusiasme sang pameran utama saat adegan menjualkan produknya.
Memang pas dengan pepatah lama dalam penjualan, di mana meyakini nilai sebuah produk dan jasa sifatnya sangat esensial. Logika mendikte kita untuk meyakini apa yang kita jual.
Jika tidak demikian, maka kegiatan penjualan hanya menjadi proses manipulasi tak etis di mana kita hanya meyakinkan calon konsumen untuk mengambil keputusan yang pada akhirnya nanti akan mereka sesali juga.
“Jika anda yakin pada produk dan jasa itu dapat memenuhi kebutuhan hakiki, maka adalah kewajiban moral anda untuk menjualnya”, kata Zig Ziglar.
Studi, kepercayaan, dan self deception
Sebuah studi baru berdasarkan eksperimen yang dilakukan sebelumnya mengonfirmasi, bahwa orang akan cenderung persuasif ketika yakin pada nilai apa yang dijual. Namun, ada juga sisi gelap dari riset tersebut. Studi yang sama juga menunjukkan bahwa orang cenderung menipu diri sendiri ketika merasa didorong kebutuhan finansial untuk menjadi persuasif.
Para peneliti menyebut hal itu sebagai self deception (manipulasi diri). Dalam Scientific American, seorang peneliti William von Hippel dari University of Queensland mengatakan:
Apa yang menarik adalah kita bisa memahami bahwa jika seseorang meyakini sesuatu pada awalnya, maka orang itu akan lebih efektif memengaruhi orang lain untuk meyakininya juga. Begitu pula ketika orang memproses informasi bias, mereka akan meyakinkan diri sendiri, lalu meyakinkan orang lain.
Tak diragukan lagi, jika kemampuan memanipulasi diri ini juga menjelaskan bagaimana beberapa tenaga penjual bisa merasa tak masalah dan bahkan sukses saat menjual produk yang jelek. Mereka cenderung mengabaikan fakta-fakta bahwa produk itu tidak bekerja dengan baik dan berupaya mencari bukti-bukti yang menguatkan argumen itu.
Saat mereka menginternalisasi keyakinan itu, konfirmasi bias akan membuatnya semakin kuat. Fakta-fakta yang tak mendukung pandangan positif akan cenderung ditinggalkan. Hasrat untuk menjadi konsisten menguatkan kepercayaan.
Jika kamu yakin adalah orang baik, dan menjual produk bertahun lamanya, maka itu baik. Jika kamu berpikir produk itu jelek, maka akan menciptakan kondisi tak menyenangkan, atau disebut kesumbangan kognitif (cognitive dissonance).
Lalu, bagaimana kita menggunakannya dengan cara lebih etis? Pertama, kita harus menyadari bahwa insentif finansial memang akan mendorong pada upaya manipulasi diri. Tenaga penjual yang jujur rata-rata mungkin tidak menyediakan informasi produk yang bias untuk konsumennya.
Apakah kita konsumen, sales manager, atau tenaga penjual, kita perlu menyadari bahwa kondisi bias sangat mungkin terjadi pada kebanyakan situasi penjualan. Sisi positif dari studi ini adalah setiap organisasi dapat menggunakan strategi ini dengan cara lebih etis.
Misalnya, menyediakan informasi yang membuat orang lain bisa mempercayai sebuah produk, seperti ulasan, perbandingan, cerita sukses konsumen dan sebagainya.
Jangan khawatir untuk menerima sedikit informasi negatif demi menguji apakah si tenaga penjual memiliki argumen yang lebih persuasif. Seperti yang dikatakan Ziglar, jika seorang tenaga penjual meyakini sebuah produk atau jasa, mereka akan lebih persuasif. Pastikan saja, jika keyakinan ini berlandaskan informasi yang benar dan akurat.
Berbagai sumber/neuroscience marketing
Leave a Reply