Pertama kali melihat antropomorfik Gudetama ini, entah kenapa saya langsung jatuh hati. Tak seperti Hello Kitty atau Keroppi yang karakter lucunya sudah saya kenal sejak kecil, Gudetama merupakan karakter fiksi Sanrio baru yang lekat dengan kepribadian malas dan apatis.
Karakter itulah yang menjadikan manusia kuning telur dengan tubuh tanpa jari tangan dan kaki serta pemilik bokong retak ini menjadi daya tarik sendiri. Matanya menyerupai biji wijen, ia punya paha tanpa otot, dan pastinya tidak punya gender.
Sejak penciptaannya pertama kali, karakter Gudetama sudah diasosiasikan dengan loser yang umumnya menjadi karakter manusia. Tahun 2013, Sanrio mengadakan kompetisi di Jepang dengan mengambil tema makanan yang berbasis karakter. Kontes tersebut dimaksudkan atas dua tujuan.
Pertama, membantu desainer perusahaan menemukan percikan kreativitas, kedua sebagai uji coba terhadap potensi karakter baru sebelum Sanrio membuang uang untuk ragam merchandise yang dirilisnya. Hasil dari kontes itu didasarkan pada voting di mana Gudetama akhirnya menempati posisi kedua pemenang, dikalahkan oleh karakter salmon filet ceria bernama Kirimichan.
“Kami mulai merilis produk berdasarkan karakter salmon filet dan teman-temannya. Tapi, Gudetama yang mendapat juara dua, tetap kami rilis produknya, dan ternyata benar-benar mendapat sambutan luar biasa dalam beberapa tahun terakhir,”kata VP Marketing & Brand Management Sanrio Dave Marchi dikutip TheVox.
Dari situs resmi Sanrio, Kirimichan yang memiliki senyum abadi ini ternyata harus hidup dalam kesepian di mana hanya dua produk bertema Kirimichan diobral. Bahkan, jika kamu cek situs Sanrio sekarang, tidak ada satu pun produk merchandise bertema Kirimichan.
Sedangkan, Gudetama memiliki 115 produk, termasuk skateboard, tote bag, tempat pensil, tempat tisu, tas ransel, plush, bahkan pakaian. Hello Kitty masih menempati posisi pertama karakter Sanrio yang paling disukai dengan total 226 produk.
Laporan Wall Street Journal menyebutkan, sejak pengenalan manusia telur malas ini, dalam kurun dua tahun, Sanrio berhasil mengirim 1700 produk variasi bertema Gudetama di Jepang saja, dari mulai kaos kaki hingga tas koper. Gudetama juga mendapat sambutan hangat dari para konsumen, di luar Jepang. Meski, enggan menyebut angka penjualan pasti, Marchi mencatat jika para konsumen yang menyukai Gudetama, berada di rentang usia dewasa muda.
Wajar saja, orang dewasa cenderung lebih peka terhadap karakter Gudetama sendiri dan itu menghasilkan koneksi emosi bagi mereka. Dalam kontes, Kirimichan si salmon filet memang juaranya, karena lucu, ramah, serta selalu bangga memproklamirkan diri sebagai bintang makanan potong dunia. Tapi, Gudetama, lebih dari itu…..
Karakter jadi daya tarik
Apa yang membuat Gudetama beda dari tokoh fiksi Sanrio yang lain? Menurut Marchi, perilaku Gudetama memang sedikit berbeda. “Dia agak malas, sedikit melankolis, bahkan terkesan bodo amat.
Dia hampir menghabiskan waktunya untuk bermalasan, mengantuk dan tidur di mana perilaku ini sangat lazim dilakukan siapa pun, apakah remaja 14 tahun, orang dewasa 30 tahun atau bahkan 50 tahun.
Nama Gudetama sendiri merupakan kombinasi istilah Jepang, “gude-gude”, yang artinya malas, dan tama kependekan dari “tamago”, istilah Jepang untuk telur. Gudetama memang terlihat selalu lelah.
Terlalu lelah untuk bersin, terlalu lelah untuk dikonsumsi, terlalu lelah untuk digoreng, dan sering kali terlalu lelah hanya sekedar keluar dari tempurungnya. Ia kerap pula menggunakan lemak babi sebagai selimut dan steak sebagai bantal. Hidup Gudetama banyak dihabiskan dengan berbaring di atas piring….
Budaya “kawaii” ala Jepang
Seorang ahli kartun dan mahasiswi seni visual di New York Aya Kakeda, mengakui, memang ada perbedaan mendasar antara kartun Jepang dan Barat. Menurutnya, karakter budaya di Amerika dan Barat cenderung datar dan hitam dan putih.
“Penjahat adalah penjahat, begitu pula pahlawan adalah pahlawan. Karakter yang lucu merupakan simbol kebaikan, tapi sebaliknya dengan karakter “jahat”. Ini terlihat dalam kebanyakan kartun Disney,”ujarnya.
Lebih lanjut, katanya, hal ini memang perlahan berubah, seperti yang ditunjukkan karakter animasi South Park, namun di Jepang penciptaan karakter bisa masuk pada wilayah lebih abu-abu, dan ini dibangun selama puluhan tahun.
Ketika bicara soal sensitivitas kelucuan di Jepang, ada sebuah konsep bernama “kawaii” yang muncul di era 1970-an, berdasarkan keterangan ahli budaya visual Jepang dari University of Manchester, Sharon Kinsella.
Seorang profesor sastra dan film Jepang dari University of Oregon Alissa Freedman pun mengatakan, kawaii tak hanya sekedar lucu, tapi juga punya kerentanan jadi lucu bahkan menginspirasi orang lain untuk memeliharanya. Seperti kalau kita ngomong, “kamu lucu sekali, kami mau merawatnya”.
Menurut Kakeda, konsep kawaii kini lebih terfragmentasi, mengingat adanya sub-sub kelompok kawaii sendiri.
Banyak maskot Jepang yang berupaya mengekspresikan emosi di mana maskot Barat tidak melakukannya. Di Barat, maskot hanya digunakan secara khusus untuk membuat orang semangat. Di Jepang, maskot digunakan sebagai medium atas situasi atau emosi orang-orangnya di mana kadang mereka tak ingin menunjukkannya secara langsung.
Lucu sebagai obat frustrasi
Bukan rahasia umum, jika semua orang butuh hiburan di tengah tekanan hidup yang dihadapi. . Hal inilah yang dipercaya para seniman dan akademisi Jepang, bahwa kelucuan merupakan reaksi atas kekacauan dunia.
Di Jepang sendiri, konsep kawaii kerap dihubungkan dengan kondisi negara setelah Perang Dunia II. Idenya datang akibat trauma kekalahan,(tragedi bom Hiroshima dan Nagasaki) di mana kondisi negara saat itu sangat rentan dan kacau.
VP Brand Management Sanrio Marchi pun mencatat popularitas Gudetama sejak diperkenalkan pertama kali, mulai mendapat sambutan juga dari konsumen Amerika belakangan terakhir. Hal ini turut diyakini bahwa sebagian masyarakat Amerika sekarang mungkin tengah menghadapi periode yang buruk. Misalnya, memanasnya suhu politik, kebijakan imigran asing, kriminalitas, kebrutalan, dan teror.
Ketika kita membagikan video hewan lucu, meme, GIF di media sosial tak dimungkiri jika kadang hal itu membuat perasaan kita lebih baik, dan mungkin juga orang lain membutuhkannya. Begitu pula, saat membagikan video Gudetama, ada rasa pula kita ingin bersembunyi saja dari kacaunya dunia dengan selimut.
Pada akhirnya, lucu tak hanya sekedar tampak muka. Kelucuan mampu menjadi kekuatan dan obat pelega di tengah ketakutan dan frustrasi. Kondisi gelisah tanpa disadari menggiring diri kita pada suatu perasaan, di mana sukses direpresentasikan si kuning telur yang sudah jenuh dengan kepalsuan dan drama kehidupan.
Dirangkum dari TheVox/pri.org
Leave a Reply