Menguak Makna Kampanye “Real Beauty” ala Dove, Sebuah Mitos?

Kenapa banyak para wanita merasa tak nyaman mengambil foto mereka sendiri? Itulah pertanyaan Dove, sebuah merk sabun mandi terkemuka dunia, dalam salah satu kampanye iklannya. Sejak tahun 2004, Dove memang konsisten mengkampanyekan filosofi “real beauty”  yang cenderung inklusif, dapat diperoleh, dan mengakar pada bagaimana wanita merawat diri,

Memang tak bisa dimungkiri, jika sekian puluh tahun, kita kerap disuguhi banyak iklan perawatan diri yang menarasikan kemolekan tubuh, seperti langsing, putih, dan kesempurnaan lainnya yang layaknya dimiliki wanita. Tak hanya lewat iklan produk kecantikan dan perawatan diri, kemolekan dan kesempurnaan tubuh wanita juga begitu digembar-gemborkan beragam media.

Lihat saja, para angel pemilik tubuh sempurna yang berlenggak lenggok di atas catwalk mempromosikan pakaian dalam Victoria’s Secret atau para wanita yang menjadi cover majalah fesyen kenamaan dunia, Vogue di mana setiap inch bagian tubuh mereka begitu diperhitungkan.

Seorang aktivis feminis Jean Kilbourne pun menyebut jika narasi yang dibangun media dan dunia periklanan melalui penampilan sempurna model dan selebriti di era budaya pop, turut berkontribusi pada persepsi negatif bentuk tubuh wanita yang tidak memiliki atribut “cantik” itu.

Maka hampir selama 14 tahun ini, Dove berupaya mendesain kampanye pemasaran untuk membangkitkan emosi para wanita, melawan dominasi narasi cantik yang selalu diidentikan dengan tubuh langsing dan kulit putih. Tak jarang lewat beragam iklan di televisi, media sosial, maupun papan billboard di jalan-jalan, Dove berupaya merepresentasikan “cantik sesungguhnya” dengan menampilkan para wanita dari beragam usia, warna kulit dan bentuk tubuh.

iklan dove
sumber: independent.co.uk

Sekian belas tahun, kampanye Dove mendulang sukses, namun tak jua selalu mulus, lantaran kampanye tersebut juga sempat membuat Dove dikecam rasis oleh warga net dunia.  Beredarnya sebuah video singkat yang menampilkan dua orang wanita, satu berkulit hitam yang kemudian berganti baju dan berubah menjadi wanita berkulit putih pun jadi pemicu. Video kampanye peluncuran varian body wash terbaru itu pun akhirnya dihapus dari akun media sosial resmi Dove lantaran protes bertubi-tubi, kendati pihak Dove dan model yang bersangkutan telah melakukan klarifikasi.

Lalu, mengapa harus menarget pasar wanita? Sejak remaja, para wanita di negara-negara Barat kerap mengalami hubungan bermasalah dengan tubuh mereka sendiri. Para wanita juga dinilai cenderung lebih kritis terhadap bentuk tubuh dibanding pria. Sebuah studi terhadap 8000 responden gadis usia 15-19 tahun di Australia yang disurvei, menunjukkan sebanyak 43 persen sangat peduli tentang penampilan mereka.

Berdasarkan studi Yayasan Eating Disorder Victoria (EDV), rasa rendah diri atas bentuk tubuh tak sempurna juga meningkatkan peluang seseorang menderita gangguan makan. Kajian baru-baru ini saja menunjukkan, sebanyak 90 persen warga Australia yang mengidap gangguan makan adalah para gadis dan wanita dewasa. Tren yang sama juga terjadi di Amerika Serikat dan Inggris.

Namun, sebelum bersimpati berlebihan pada Dove yang ingin membesarkan hati para wanita di dunia lewat filosofi “kecantikan sesungguhnya”, apa yang sebetulnya yang ingin dicapai Dove sebagai sebuah brand produksi korporasi multinasional?

Kampanye dangkal

Dilansir the conversation, para feminis justru berpandangan jika kampanye iklan Dove sekian belas tahun itu sebetulnya sedang mengkapitalisasi standar kecantikan  wanita yang telah lama terbangun. Strategi pemasaran Dove sebetulnya juga menyatakan ide yang sama bahwa semua pengiklan telah “menjual” wanita selama berdekade, di mana penampilan menjadi sesuatu yang paling penting.

Kampanye “real beauty” pada akhirnya jadi  ambigu,  karena di satu sisi, Dove  meminta para wanita menerima mitos semacam “cantik sesungguhnya”, yang begitu penting untuk dicapai. Sedangkan, di sisi lain, wanita terkesan hanya mampu menerima diri dan memiliki persepsi positif akan imej tubuh jika menjadi konsumen produk Dove. Dengan demikian, Dove hanya menempatkan tanggung jawab menjadi “cantik sesungguhnya” yang kemudian dikembalikan ke persepsi masing-masing wanita.

Alih alih mengadvokasi kampanye yang otentik untuk perubahan sosial (sebagai tujuan para feminis kebanyakan), iklan Dove malah menunjukkan dengan jelas kepekaan post feminism (sebuah gerakan ideologi yang kontra terhadap feminisme karena dinilai tak lagi relevan). Kalangan post feminism menilai, makin banyak wanita yang bisa bekerja dan mendapat bayaran layak, mendapat hak-hak reproduksi, dan berpartisipasi dalam pendidikan tinggi dan lainnya.

iklan dove
sumber: pesonal development portfolio

Di sisi lain, post feminism juga dinilai begitu dekat dengan konsumerisme, di mana wanita menjadi begitu “berdaya” ketika mereka berbelanja. Namun, hal itu lebih terkait pendapatan individual wanita, yang sebetulnya terpisah dari perubahan institusional yang menjadi sentral gerakan feminisme.

Jika memang tulus membangkitkan kepercayaan diri wanita, mengapa Dove tidak mencoba mengkampanyekan kesadaran atas fakta imej tubuh dan angka pengidap gangguan makan yang makin meningkat, terutama di negara-negara Barat. Persoalan gangguan makan atau bulimia memang menjadi masalah sosial serius yang sebetulnya dekat dengan industri kecantikan.

Kontrasnya, sebagai brand yang diproduksi perusahaan multinasional dan percaya bahwa “real beauty” itu penting, justru sang manufaktur juga memproduksi suplemen diet Slim Fast, dan krim pencerah kulit Fair & Lovely. Perlu diingat, bahwa feminisme adalah gerakan untuk perubahan sosial, dan sudah pasti Unilever hanya sekedar menjadikan isu tersebut sebagai tempelan belaka.

Kondisi ini tentu berbeda saat seorang Anita Roddick membangun The Body Shop (kini sudah diakuisisi L’oreal)pada pertengahan tahun 1970-an dengan mengedepankan praktik bisnis beretika dan mengusung isu kosmetik ramah lingkungan. Pada akhirnya, kampanye “real beauty” hanya semacam taktik cerdas untuk menyamarkan penjualan lebih banyak dan banyak lagi produk kepada para wanita yang sebetulnya tak butuh-butuh amat……Hmmm…


Posted

in

by

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!