Bukan hal baru memang jika banyak iklan promosi brand yang tak melulu bicara soal jualan produk, melainkan turut memengaruhi cara pandang para pemirsanya dalam melihat permasalahan sosial dunia. Misalnya saja, tahun lalu iklan Budweiser, mengangkat tema imigran asal Jerman yang datang ke Amerika, lalu bertemu dengan imigran lain, di mana sama-sama menciptakan bir paling populer di Amerika.
Bagi banyak orang, ini adalah iklan yang bicara tentang bagaimana imigran mampu mengubah lanskap bisnis Amerika menjadi lebih berwarna. Meski, dianggap berbau politis, iklan ini nyatanya membuka mata banyak orang tentang bagaimana peran imigran membangun Amerika di tengah kondisi negeri Paman Sam yang terpecah.
Bagaimana dengan Nike? Tentu, kita sudah tak asing dengan sepak terjang brand sepatu olahraga ber-tagline “Just Do It” ini sebagai aktivis brand. Perusahaan perlengkapan olahraga yang didirikan sejak tahun 1964 ini, memang kerap memunculkan para atlet ternama untuk menjadi bagian dari kampanye setiap peluncuran produknya.
Tak cuma itu, Nike juga pernah membuat kampanye yang mendobrak sterotip agama, islamofobia, dan budaya patriarki kala mereka menghadirkan para perempuan muslim yang mampu menembus batas, seperti menjadi petinju, pelari atau pemain skateboard. Meski mendapat respon cukup positif dari para wanita muslim, namun iklan ini juga sempat mendapat kecaman dari dua kubu berbeda.
Pertama, para konservatif muslim yang menganggap itu sebagai upaya liberal, dan juga kaum konservatif kanan yang menganggap Nike mempromosikan bentuk represif kepada kaum wanita lewat hijab.
Di negeri Barat, hijab didesain sebagai simbol dan gambaran atas pengekangan dan kemunduran. Dilansir theconversation, seorang sosiolog olahraga Jennifer Hargreves menuliskan dalam sebuah buku “Heroines of sport: The politics of difference and identity (2000):
“Hijab menjadi simbol perbedaan budaya. Bagi non muslim, hijab berupaya menyampaikan ide bahwa para wanita Barat sangat bebas, dan wanita muslim sebagai perbandingannya, ditekan. Hijab merepresentasikan “Otherness” (sisi lain) Islam di mana di dunia Barat, hal itu justru dipandang sebagai upaya penyempitan mode, bentuk kontrol sosial, dan sanksi agama atas kertebukaan dan status subordinasi wanita secara sosial politik,”
Lantas, tak cuma sampai di situ kontroversi kampanye iklan Nike berakhir, lantaran baru-baru ini, perusahaan yang berbasis di Oregon ini menggandeng mantan pemain NFL, Colin Kaepernick yang berujung pada aksi sejumlah konsumen yang ramai-ramai membakar sepatu dan pakaian berlabel Nike. Dikutip DailyMail, aksi pembakaran tersebut juga diikuti dengan gerakan mengunggahnya ke media sosial dengan tagar #BoycottNike, #RIPNike.
Sosok Kaepernick mendadak jadi kontroversial di mana atlet berdarah Afro Amerika ini malah berlutut saat lagu kebangsaan Amerika Serikat (AS) dikumandangkan sebelum laga NFL dimulai sekitar 2 tahun lalu. Padahal, pemain NFL lain berdiri tegak menatap bendera AS saat lagu kebangsaan dikumandangkan.
Namun, aksi Kaepernick tersebut bukan tanpa alasan, lantaran ia melakukannya sebagai bentuk protes diskiriminasi ras berdasarkan warna kulit yang hingga kini masih terjadi di negerinya, khususnya terkait kasus penembakan orang-orang berkulit hitam oleh polisi.
Dipilihnya Kaepernick sebagai bintang iklan baru Nike turut mendapat kecaman dari Presiden Donald Trump, dan mereka yang membakar produk Nike pun sebagian besar merupakan pendukung Trump. Meski, langkah Nike tersebut terbilang provokatif, namun bukan berarti perusahaan tidak berhitung risikonya, Nike meyakini segmen konsumennya yang berusia muda akan mendukung.
“Perusahaan makin menyadari, betapa pentingnya memiliki visi atas suatu gerakan. Nike cukup berhati-hati dalam mengambil keputusan terkait brand. Langkah yang sekarang ini justru menjadikan Nike konsisten dengan identitas mereka,”kata Assistant Profesor Marketing University of Oregon, Joshua Beck.
Kaepernick menjadi satu dari beberapa atlet, seperti Serena Williams dan Odell Beckham Jr yang tampil dalam kampanye iklan Nike bertajuk ulang tahun 30 tahun “Just Do It”. Juru bicara Nike menyatakan, perayaan kampanye tersebut sebagai cara memberi panggung bagi para atlet inspiratif yang berjuang mengejar mimpi mereka tak peduli apa pun tantangan yang terjadi.
Pengumuman atas pemilihan Kaepernick sebagai bintang baru Nike nyatanya mendorong eksposur media dan publik besar-besaran di mana sejauh ini menunjukkan sentimen cukup positif. Menurut Beck, kampanye Nike ini akan berdampak jangka panjang. Sedangkan aksi boikot hanya akan berlangsung sebentar saja di mana konsumen yang mendukung Nike tetap setia. Kabar terbaru dilansir TheFox, penjualan produk-produk Nike pun melonjak tajam setelah digandengnya Kaepernick.
Semua akan menjadi politis pada akhirnya. Di era konsumen muda milenial kini, brand semakin dituntut untuk mengambil posisi terkait isu-isu penting. Terlebih, sebanyak 60 persen milenial muda merupakan “pembeli yang memiliki misi tertentu” (belief-driven buyers). Nike memang bukan satu-satunya brand yang kerap menyatakan sikap politik dalam kampanye-nya, ada juga Google, Patagonia, dan Starbucks.
Namun, perlu diingat menunjukkan sikap politis tetap memiliki konsekuensi bisnis. Maka, jika sebuah brand siap menjadi kontroversi, perlu dipahami juga dampak apa yang akan dialami nantinya. Siapa konsumennya? Bagaimana cara pandang mereka terhadap gerakan ini? Bagi Nike, yang ingin merangkul kalangan muda milenial, keputusan politis mereka tentu dapat dipahami 🙂
Leave a Reply