belanja

Kenapa Perempuan Suka Belanja?

Selama ini kegiatan belanja memang selalu diidentikkan dengan kaum hawa. Tak heran muncul istilah retail therapy yang kerap dijadikan senjata ampuh para toko online untuk menarik minat belanja para wanita. Memang ada sebuah temuan menarik yang menunjukkan bahwa belanja beberapa item tertentu, seperti gadget atau pakaian memberi kontribusi pada kebahagiaan seseorang.

Tapi, apakah benar jika pria tidak memiliki hasrat yang sama dengan wanita dalam hal belanja? Sebuah survei terhadap 2000 orang di Inggris pada tahun 2013 lalu menemukan, bahwa para pria cenderung bosan setelah menghabiskan waktu selama 26 menit untuk belanja, sedangkan wanita rata-rata selama 2 jam.

Survei itu sekaligus mengonfirmasi jika 80 persen pria tidak suka belanja bersama pasangannya. Ditilik secara historis dan antropologis, memang ada teori menarik yang menjelaskan tentang fenomena itu.

Selama ribuan tahun lamanya, manusia hidup sebagai hunter-gatherer (berburu meramu) di mana kegiatan berburu binatang liar dilakukan para pria, sementara kegiatan meramu, seperti menamam buah dan sayuran menjadi pekerjaan wanita. Para antropolog juga memprediksi jika kegiatan meramu para wanita mampu menyediakan 80-90 persen makanan bagi kelompok mereka.

Di kawasan Timur Tengah, banyak komunitas yang mulai menjalankan kegiatan bertani, dan perlahan diikuti oleh masyarakat kawasan lainnya seperti, di Asia dan Eropa Namun, setelah hampir ratusan bahkan ribuan tahun lamanya dipraktikkan, tampaknya kegiatan berburu meramu masih menjadi naluriah bagi kita. Hal inilah yang membawa kita kembali pada preferensi dan kebiasaan belanja di era modern ini.

belanja
sumber: zmscience

Tak heran, wanita cenderung rela menghabiskan waktu lebih lama, misalnya sekedar untuk memeriksa makanan dan kesegarannya. Seketika, pulang-pulang mereka membawa begitu banyak item alias kantong belanja 😀

Begitu pula, kegiatan berburu bagi pria menjadikan mereka tampil sebagai makhluk yang mono fokus, dibandingkan sebagai penjelajah alias browser. Dalam istilah pre historis, hanya satu yang ada dalam pikiran pria, bunuh hewan, dan bawa pulang. Mereka cenderung tak ingin membuang waktu lebih lama untuk mengecek hal lainnya.

Dilansir psychologytoday, hal ini pun turut diamini oleh antropolog Kruger dan Byker (2009) yang juga menemukan kesamaan antara pria modern dan kebiasaan belanja wanita dengan kegiatan berburu meramu di masa lalu.

Retail therapy

Masuk pada istilah retail therapy, sebuah studi yang dipimpin oleh TNS Global dilansir Ebates menemukan lebih dari setengah orang Amerika mengakui merasakan efek “retail therapy”. Sebuah istilah yang pernah dipublikasikan Journal of Psychology & Marketing. Peneliti Selin Atalay dan Margaret Meloy menemukan, bahwa 62 persen konsumen belanja sesuatu untuk menyenangkan diri, dan 28 persen-nya belanja sebagai bentuk perayaan.

Berikut adalah beberapa poin bagaimana kebiasaan belanja begitu memiliki pengaruh kuat bagi kondisi psikologis seseorang. Hal ini mungkin bisa dijadikan insight penting bagaimana semestinya kita memasarkan sesuatu untuk orang lain?

Masa transisi

Belanja dapat menjadi sumber yang kaya untuk persiapan mental. Ketika seseorang belanja, maka mereka akan memvisualisasikan bagaimana mereka menggunakan produk tersebut sekaligus kehidupan baru setelahnya. Visualisasi cenderung akan mendorong performa dan meminimalisasi kegelisahan. Tak heran, jika masa belanja yang intensif cenderung terjadi dua kali masa transisi hidup, seperti akan menikah atau memiliki bayi.

Itulah mengapa terkadang jumlah yang dibelanjakan melebihi dari kebutuhan sebenarnya. Psikolog Sara Levin juga mengemukakan, beberapa tipe pembelian juga kadang punya tujuan lebih tinggi. Misalnya, produk atau jasa yang mampu menginspirasi kepercayaan diri dan penguasaan terhadap sesuatu.

Berbusana untuk sukses

Salah satu alasan mengapa seseorang kerap membeli pakaian baru adalah mereka selalu ingin terlihat “gorgeous” 🙂  Sebuah studi yang dipublikasikan oleh Journal of Experimental Social Psychology, yang melibatkan para murid sebagai partisipan, kemudian mereka diminta untuk menggunakan jaket putih layaknya dokter.

Hasilnya mereka mampu mengerjakan tes lebih akurat, fokus dan penuh konsentrasi dibanding kelompok partisipan yang hanya mengenakan pakaian seadanya. Artinya, banyak orang yang ingin dinilai dari penampilan luar baik lewat pakaian atau sepatu yang dipakai, sehingga mereka pun akan berupaya berperilaku sesuai apa yang mereka kenakan.

Koneksi sosial

Sebagai makhluk yang gemar berkumpul, kita kerap berkunjung ke pasar atau mal hanya untuk saling terkoneksi dengan orang lain. Sedangkan, sebagian orang lagi memiliki preferensi terhadap brand tertentu hanya untuk bisa berkumpul sesama pecinta brand tersebut dalam sebuah klub misalnya. Hal itu tentunya menjadi terapi tersendiri bagi seseorang.

Ternyata belanja bukan hanya sekedar memenuhi kebutuhan hidup yah, tapi juga bisa mendatangkan kesenangan tersendiri 🙂


Posted

in

by

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!