Tadinya saya berpikir, orang-orang yang pada bisa keliling dunia itu kerjanya apa sih? Tapi, traveling itu nyatanya bukan soal berlimpah atau tidaknya harta, melainkan tentang upaya menyelami pengalaman baru. Bagi saya, orang-orang yang selalu mencari pengalaman baru, adalah orang-orang yang kaya, ya kaya wawasan dan sudut pandang. Contohnya saja, wanita keren satu ini.
Melakukan perjalanan sejak usia 6 tahun, pemilik dua kewarganegaraan Amerika Serikat (AS) dan Uganda, Jessica Nabongo telah menapaki 8 negara saat usianya yang ke-18 tahun. Sejak singgah di Bali, Nabongo ingin mengejar passion-nya secara penuh waktu dengan merencanakan perjalanan ke 195 negara yang tergabung di PBB. Ia pun menargetkan untuk mengunjungi negara terakhir, saat usianya menginjak ke 35 pada Mei 2019.
Untuk menyelesaikan sebagian misinya, ia meluncurkan laman GoFundMe di media sosial dan mulai berkolaborasi dengan beragam brand dan sponsor untuk turut membiayai petualangannya bertajuk “the catch me if you can”. Selama melakukan perjalanan ke 90 negara, sekiranya saja ia membutuhkan 133.500 dolar atau sekitar Rp1,8 miliar.
Selain itu, mantan pegawai PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) ini juga harus cuti sementara dari pekerjaan utamanya sebagai pendiri Global Jet Black, lantaran ia merasa kewalahan membagi waktu antara mengurus operasional dan menjadwal perjalanannya. Jet Black sendiri merupakan agen butik travel yang bekerja sama dengan pemerintah dan brand untuk mempromosikan turisme kepada diaspora Afrika.
“Saya belajar pembangunan. Saya berpetualang. Saya melihat bahwa amal (charity) bukan sesuatu yang bisa mengubah kehidupan orang-orang di negara miskin. Para UKM bisa melakukannya. Ini tentang bagaimana membawa lebih banyak uang untuk perekonomian mereka dan inilah yang saya dorong di Jet Black,”kata Nabongo.
Negara paling rentan dikunjungi
Selama melakukan perjalanan, tentu saja banyak hal menarik sekaligus menyeramkan yang dialami Nabongo. Misalnya saja, saat dirinya berkunjung ke Yaman dan Suriah di mana hingga kini masih berlangsung perang sipil. Demi keamanan, ia menggunakan jaringannnya yang ia kenal dari PBB. Ia pun banyak menerima masukan agar tetap waspada saat memasuki negara-negara yang tengah krisis dan aksesnya rumit. Selain Yaman dan Suriah, ada pula Libya, Venezuela, Afghanistan, Arab Saudi, Korea Utara, Turkmenistan, dan Republik Afrika Tengah.
Kampanye traveler Afrika dan digital nomad
Nabongo berharap bisa menjadi contoh bagaimana seorang kulit berwarna, wanita, dan warga negara dengan paspor Afrika bisa menaklukan setiap jalur destinasi dunia. Demi mempromosikan ide turis Afrika, ia lebih sering menggunakan paspor Uganda dibanding Amerika.
Bahkan, di negara asalnya Uganda yang bebas Visa, Nabongo sempat mengalami kesulitan di imigrasi. Setelah menunggu berjam-jam di bandara Filipina, Nabongo mengatakan, cukup terkejut bagaimana sulitnya melakukan perjalanan dengan paspor Afrika dibanding Amerika.
“Banyak orang berpikir bahwa orang Afrika bukan konsumen, mereka lebih menganggap Afrika sebagai orang-orang yang harus diberi amal. Saya ingin imigrasi melihat, “hey orang Uganda itu turis (juga) lho,”kata Nabongo.
Sejak mengumumkan rencana besarnya mengelilingi dunia dan ingin menjadi bagian dari gerakan “black travel” , Nabongo juga mendapat dukungan luar biasa dari para penggiat digital nomad.
Nabongo juga bercerita, banyak momentum berharga selama ia melakukan perjalanan. Contohnya, ada seorang pegawai imigrasi di Indonesia yang memintanya untuk melakukan foto selfie bersama, karena menurut pegawai itu dirinya sangat cantik. Dengan ciri khas kepala pelontos dan bibir bergincu cerah, penampilan Nabongo memang terlihat unik dan memukau.
“Itu pengalaman yang menyenangkan. Memang ada rasisme di dunia ini, namun di antara banyak perjalanan yang saya lalui, saya menemukan fakta bahwa kebanyakan orang-orang itu baik. Kecuali di AS, mereka sedikit tidak welcome terhadap paspor Afrika,”ujarnya.
Pengalaman menarik lainnya, adalah saat ia melakukan perjalanan ke Nigeria. Nabongo pernah meninggalkan ponselnya di area parkir di Lagos, dan ia bisa mendapatkannya kembali dua jam kemudian.
“Kamu percaya nggak? Ponsel saya dikembalikan dari seseorang yang hidupnya kekurangan, bahkan ia sendiri tidak punya ponsel. Orang itu juga tidak meminta imbal balik apa pun. Ini benar-benar luar biasa,”katanya.
Ya, lewat setiap perjalanan, Nabongo ingin menciptakan koneksi yang bermakna terhadap kebudayaan yang ia lihat. Wanita yang berdomisili di Detroit, Michigan ini pun kerap bersama penerjemah untuk membantunya berkomunikasi dengan orang-orang lokal setempat.
“Bagi saya, bagian paling besar dari petualangan ini adalah bicara dengan orang-orang di sana,”katanya.
Selama setahun belakangan, Nabongo juga telah mendapat banyak pesan dari orang-orang kulit berwarna di seluruh dunia, bahwa perjalanan yang ia lakukan sangat menginspirasi mereka untuk mengunjungi negara-negara yang mereka pikir tidak ramah.
“Saya ingin menunjukkan bahwa orang-orang kulit berwarna juga traveler. Saya mewakili Amerika dan juga Uganda. Tujuan saya adalah “menunjukkan segala kemungkinan” dan biarkan banyak perempuan kulit berwarna lainnya di seluruh dunia tahu bahwa mereka juga bisa melakukan hal yang sama,”ujarnya.
*Diolah dari Forbes/Bloomberg/theCulturetrip
Leave a Reply