
Desainer legendaris Karl Lagerfeld memang sudah tiada. Namun, ia meninggalkan segudang legacy tentang kreativitas dan kerja keras. Sejalan dengan karakter desainnya, imej yang dibangun terhadap dirinya pun tidak biasa, ia tak pernah tampil di publik tanpa kaca mata hitam, kuncir kuda, dan sarung tangan.
Lagerfeld lahir di Hamburg, Jerman tahun 1933 dan meninggal di sebuah rumah sakit, Selasa lalu (18/2), di Paris. Di awal tahun 1950-an adalah momentum pertama kalinya ia menyaksikan fashion show di Hamburg, termasuk peragaan busana oleh Christian Dior. Dengan bujukan sang ibu, ia memutuskan untuk meninggalkan Hamburg dan menuju Paris demi mengejar karir di bidang fesyen.
“Saya melakukan pekerjaan ini layaknya saya bernapas. Saya hanya ingin melakukan sesuatu berkaitan dengan fesyen, fotografi, dan buku,”ujarnya kepada New Yorker 2007 lalu.
Tahun 1954, ia memenangi kompetisi desain pakaian wanita dan bergabung dengan sebuah rumah fesyen haute couture Pierre Balmain. Tiga tahun kemudian, ia pindah ke House of Patou. Setelah itu, ia mulai menjalani pekerjaan freelance untuk Chloe dan tahun 1967, Fendi resmi menjadi kliennya.
Namun baru di tahun 1983, saat dirinya menerima tawaran Chanel untuk menjadi direktur kreatif, turut menjadikan Lagerfeld sebagai ikon berpengaruh di industri fesyen sekaligus mengangkat nama keduanya di ranah global.
“Ketika saya masuk ke Chanel, brand ini tengah tertidur. Saya harus segera membangunkannya,” seperti dikutip Lagerfeld Confidential, sebuah dokumenter tahun 2007.

Lagerfeld mengakui nilai sejarah Chanel, namun tanpa adaptasi dengan zaman, brand ini bisa ditinggalkan. Menurutnya, kunci bertahan adalah memangkas akar lama untuk membuat akar baru.
“Fesyen itu tentang masa kini. Kamu bisa ambil ide dari masa lalu, tapi kalau kamu benar-benar memperlakukannya seperti masa lalu, tak ada orang yang menginginkannya,”katanya kepada New Yorker.
Lagerfeld mulai mendobrak pakem Chanel, terutama untuk koleksi haute couture di musim semi/panas pertama. Ia membuat koleksi Chanel lebih modern tanpa mengabaikan para penggemar lama. Terinspirasi dari siluet tahun 1920-1930 an, ia membuat jaket dengan kerah lebar dan gaun berlepit sekaligus menghadirkan cardigan wol yang lebih kontemporer.
Gaya Chanel yang sebelumnya selalu menampakkan wanita-wanita “matang”, di eranya menjadi lebih anak muda kekinian. Lagerfeld bilang kalau penggemar Chanel terlalu serius memandang dirinya, dan itu sungguh menjenuhkan baginya. Tahun 1985, New York Times menulis bahwa Lagerfeld telah sukses membawa imej Chanel menjadi lebih modern.
Ia telah mengubah wajah setelan, mewarnai pakaian dan memperkenalkan gaya rajutan yang kontemporer tanpa meninggalkan sentuhan klasik Coco Chanel. Ia bahkan tidak mengacuhkan nada-nada nyinyir di luar terkait langkah barunya di Chanel.

Sepanjang karirnya bersama brand tersebut, Lagerfeld telah mendaur ulang gaya klasik, terkadang menghadirkan sentuhan mode “nyeleneh”. Semisal, jas wol yang dipotong bak kain tirai, dihias manik-manik serta dipadupadankan celana bersepeda.
Chanel adalah rumah mode terpandang, namun Lagerfeld mampu menyuntikkan sedikit humor ke dalam koleksi mereka. Di bawah arahannya, dari hidup segan mati tak mau, Chanel mampu menjelma jadi bisnis bernilai 10 miliar dolar. Bagaimana nasib Chanel dan Fendi tanpa Lagerfeld? Kita lihat nanti…
Selamat jalan Karl….
Diolah dari Vox.com/Mirror.co.uk
Leave a Reply