Seperti biasa, semua isi blog ini adalah untuk pembelajaran pribadi. Kalau, ada yang merasa dapat manfaat, syukurlah turut senang kalau gitu :D.
Salah satu topik menarik yang tak pernah lekang oleh waktu dalam dunia usaha adalah membicarakan soal pasar atau konsumen. Kalau saya bikin judulnya, “cara mudah” , sebetulnya pas eksekusi ya gak mudah-mudah amat sih, tetap ada tantangannya sendiri hehe.
Bagaimana pun juga, setiap orang punya value dan karakter beda-beda yang dibentuk sejak orang itu lahir hingga tumbuh dewasa. Sebagai brand/business owner, tentu tak selalu mudah bagi kita untuk mengidentifikasi, berasumsi atau menggeneralisasi tipe orang begitu saja.
Menemukan apa saja faktor yang memengaruhi perilaku konsumen, bagaimana mereka bekerja, bagaimana kita bisa memahami kebutuhan dan keinginan mereka tentu menjadi bagian yang amat penting. Ya iyalah, kita kan berinteraksi dan jualan ke manusia yang ada di bumi, bukan ke jin, hewan atau alien di planet Mars 😀
Mengetahui archetype atau persona kelompok target audiens memungkinkan perusahaan secara pas untuk mempresentasikan produk dan jasa ke pembeli potensial. Menurut kamus wiki, persona itu artinya peran sosial yang dimainkan masing-masing aktor. Tak seperti memahami rumus matematika, yang sebab akibatnya lebih pasti, memahami karakter orang jauh lebih kompleks.
Pada dasarnya, ada 4 faktor utama yang memengaruhi perilaku konsumen dan keputusan mereka di antaranya, budaya, sosial, personal, dan psikologis. Pembagian persona dalam pemasaran juga biasanya dibagi ke dalam demografi, behavior/ketertarikan, dan psikografis. Tapi, jangan salah meski terlihat mudah, aslinya mah ribet banget. Berhubung lumayan panjang bahasannya, jadi dibagi 2 aja untuk topik ini. Coba yah dibedah satu satu dengan lebih santai, biar gak berat-berat amat 😀
Faktor budaya
Mungkin di luar sana, masih banyak orang berpikir kalau yang namanya budaya itu hanya sekedar segala sesuatu yang bisa dilihat kasat mata, seperti kesenian, artefak, atau hasil karya peninggalan turun temurun. Padahal, budaya itu mencakup banyak unsur dalam kehidupan manusia, seperti keyakinan/religi, sistem teknologi, pengetahuan, bahasa, kekerabatan, dan organisasi sosial. Wujud kebudayaan pun tak hanya sebatas hasil karya nyata, tapi juga hal-hal abstrak, seperti ide dan norma perilaku.
Definisi budaya, menurut Koentjaraningrat, adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan bermasyarakat yang dijadikan milik manusia melalui proses belajar. Budaya sangat krusial diperhatikan demi memahami kebutuhan dan perilaku individu. Selama hidupnya, seseorang akan banyak dipengaruhi oleh keluarga, teman, dan lingkungan sosial yang mengajarkan tentang nilai, preferensi, dan norma perilaku yang menjadi kebiasaan.
Bagi brand, sangat penting untuk memahami faktor budaya ini sesuai dengan masing-masing situasi demi upaya adaptasi sebuah produk atau strategi pemasaran. Cara ini akan memainkan peran penting untuk memahami persepsi, kebiasaan, perilaku, dan harapan konsumen.
Misalnya, di Barat, sangat lazim mengundang kolega atau teman ke rumah untuk sekedar minum atau makan malam. Tapi, di Jepang, justru sebaliknya, mengundang seseorang ke rumah dinilai tak sesuai budaya lokal, karena mereka lebih memilih untuk keluar bersama, misalnya pergi ke restoran.
Restoran waralaba cepat saji, seperti Burger King, McDonalds, dan KFC dikenal selalu menggunakan pendekatan budaya dalam pemasaran produknya. Mereka sangat menyadari kebutuhan dan selera konsumen yang berbeda-beda sesuai budaya lokal masing-masing.
Misalnya saja, jurus jitu Burger King yang membuka sauna di Helsinski, Finlandia pertengahan tahun lalu. Hubungannya apa sama burger? Sauna adalah ritual yang kerap dilakukan orang Finlandia dan menjadi bagian budaya negeri itu. Bagi mereka, sauna tak hanya menjadi tempat untuk relaksasi, namun juga sosialisasi bahkan mengadakan pertemuan bisnis.
Tak kalah cerdik, McDonalds juga mengadaptasi spesifikasi produk untuk memenuhi kebutuhan konsumen sesuai budaya lokal. Misalnya saja, saat upaya ekspansi ke negara-negara Asia, McD kerap memasukkan nasi dalam menu pilihan, menghadirkan menu chicken maharaja mac dengan bumbu khas India, atau teriyaki burger bagi masyarakat Jepang yang mayoritas suka ikan. Di negara yang mayoritas berpenduduk muslim, McD juga mensertifikasi restorannya dengan label halal.
Sub cultures
Masyarakat terdiri dari beberapa sub culture di mana orang-orang di dalamnya dapat dengan mudah diidentifikasi karakternya. Sub cultures sendiri merupakan sekelompok orang yang berbagi nilai bersama berdasarkan pengalaman atau gaya hidup yang serupa. Sub cultures bisa berupa kebangsaan, kelompok keagamaan, kelompok etnis, gender, dan lainnya.
Kelompok-kelompok ini biasa dimanfaatkan brand untuk melakukan segmentasi pasar agar lebih mudah dalam melakukan strategi komunikasi terhadap nilai-nilai yang diadopsi kelompok itu. Misalnya, dalam beberapa tahun terakhir, segmen kosmetik “etnik” secara perlahan mengemuka. Produk ini ditujukan bagi populasi Kaukasia dan tipe-tipe kulit untuk orang Afrika, Arab, dan India.
Kelas sosial
Kelas sosial lebih didefinisikan sebagai pemeringkatan sekelompok orang berdasarkan hierarki sosial. Biasanya, kita juga bisa menemukan nilai, gaya hidup, ketertarikan, dan perilaku yang mirip antar individu di dalam kelompok itu. Tiga kelas yang didefinisikan secara umum adalah kelas bawah, kelas menengah, dan kelas atas.
Tentu saja, orang-orang yang datang dari kelas berbeda memiliki keinginan dan pola konsumsi yang berbeda pula. Berdasarkan penelitian, perilaku dan kebiasaan membeli tak hanya terkait seberapa banyak materi yang dimiliki, tapi juga sebagai cara identifikasi dan upaya seseorang mendapat pengakuan terhadap kelasnya.
Beberapa kajian juga menunjukkan bahwa persepsi sosial sebuah brand atau riteler memainkan peran penting terhadap pola perilaku dan keputusan membeli seseorang. Misalnya, konsumen dari kelas bawah atau fokus pada harga, sedangkan kelas atas akan lebih tertarik pada unsur seperti, kualitas, inovasi, fitur, atau manfaat sosial dan emosional dari sebuah produk.
Tren budaya
Tren juga turut memengaruhi pola konsumsi seseorang lantaran popularitas atau “tekanan” sosial. Semakin banyak orang mengikuti tren, maka akan mendorong yang lainnya juga untuk menggunakannya. Misalnya saja, tren fesyen atau tren teknologi. Facebook adalah sebuah tren budaya, di mana pertumbuhan anggotanya mendorong banyak orang seolah harus memiliki akun. Tak jauh beda, dengan pertumbuhan pasar tablet, seperti iPad atau Galaxy Tab yang menjadi tren budaya global.
Faktor sosial
Faktor berikutnya adalah sosial yang turut memengaruhi perilaku konsumen secara signifikan yang terdiri dari, komunitas/kelompok referensi, keluarga, status dan peran sosial.
Komunitas
Kelompok referensi atau keanggotaan merupakan kelompok sosial yang memberi pengaruh besar pada seseorang. Komunitas keanggotaan biasanya terafiliasi dengan kelas sosial, usia, tempat tinggal, pekerjaan, atau hobi. Tingkat pengaruh mungkin beragam tergantung dari individu dan kelompok, namun tren konsumsi di antara anggotanya bisa saling menyerupai. Dengan memahami pola pikir, nilai, dan gaya hidup tiap-tiap kelompok ini, akan memudahkan brand untuk menyampaikan pesan periklanan. Beberapa peran yang dimainkan oleh orang-orang dalam kelompok di antaranya:
Inisiator: seseorang yang menyarankan membeli produk atau jasa
Influencer: seseorang yang memiliki pandangan atau nasihat yang akan memengaruhi keputusan membeli. Misalnya, aktor, atlet, selebgram dan lainnya.
Pengambil keputusan: orang yang memilih produk untuk dibeli. Bisa konsumen, atau pada beberapa kasus adalah orang lain, misalnya pemimpin komunitas yang didukung para anggotanya.
Pembeli: orang yang benar-benar membeli produk alias konsumen akhir.
Keluarga
Keluarga adalah unit terkecil yang memiliki faktor besar dalam memengaruhi perilaku individu. Di unit inilah, dibangun lingkungan bersosialisasi di mana individu tumbuh dan berkembang membentuk kepribadian, menyerap nilai dan mengembangkan opini atas bermacam subyek, seperti politik, masyarakat, relasi sosial, dan cita-cita. Tak ketinggalan, kebiasaan konsumsi serta persepsi terhadap brand atau produk yang dibeli juga ikut terbentuk.
Misalnya, di keluarga ditanamkan jika minuman soda tak baik bagi kesehatan, maka kecil kemungkinan jika orang itu akan mengonsumsi minuman soda hingga tumbuh dewasa karena doktrin yang ditanamkan sejak kecil. Makanya, penting bagi brand (terutama consumer goods) untuk melihat keluarga sebagai entitas penting dalam pemasaran.
Status dan peran sosial
Peran sosial akan mengedepankan perilaku dan kegiatan di mana seseorang dituntut memilikinya berdasarkan profesi, posisi dalam pekerjaan, keluarga, gender, dan ekspektasi orang lain atas dirinya. Sedangkan, status sosial akan merefleksikan peringkat dan pentingnya peran itu dalam masyarakat dan kelompok sosial. Peran sosial dan status ini akan memengaruhi perilaku konsumen dan keputusan membeli seseorang. Misalnya, orang akan membeli Lamborghini atau Porsche tak hanya karena kualitas, tapi juga menandakan kesuksesan sosial yang direpresentasikan mobil itu.
to be continued……
Leave a Reply