Bagaimana mereka berdiri pada suatu pandangan politik tertentu dan mampu mengubahnya jadi pundi-pundi menguntungkan?
“Kita ini tengah hidup di dunia di mana brand harus berpikir tentang “tujuan” mereka,” kata Dan Cullen-Shute, Co founder agensi periklanan, Creature & White Crow, London. Riset telah menunjukkan bahwa kaum milenial menginginkan brand yang mampu melakukan hal bermakna. Ia mencontohkan apa yang dilakukan Gillete kala merilis iklan bertema #MeToo yang kemudian menjadi kontroversi.
“Saya mengapresiasi upaya mereka, tapi sebagai bagian komunikasi (iklan ini) sangat kaku dan egois. Memang penting untuk mendorong kaum pria menjadi lebih baik dan menghormati perempuan, tapi di saat yang sama banyak yang tidak percaya bahwa isu itu adalah yang ingin benar-benar diangkat oleh Gillete,”katanya.
Charles Olive, seorang cultural strategist yang bekerja di Grey advertising (agensi yang juga memegang akun Gillete) dan Eliza Williams, managing editor di Creative Review juga setuju dengan pendapat Dan Cullen-Shute.
“Ini seperti lelucon Saturday Night Live atau parodi South Park,”kata Olive. Sementara, Williams menambahkan: “Iklan itu seperti menggurui dan terkesan berkhotbah, dan itu bukanlah macam iklan terbaik,”ujarnya.
Mungkin kita akan menyadari, ketika sebuah brand memasuki percakapan publik tanpa memahami nuansa atau kedalaman topik, maka akan memberi kesan bahwa mereka tak punya kredibilitas menjadi bagian gerakan tertentu.
Kebangkitan konsumen “woke”
Setelah pemilihan presiden AS tahun 2016 lalu, banyak negara-negara dunia mengalami perubahan cara pandang politik secara signifikan. Kata “woke” sendiri merupakan istilah slang yang merujuk pada kesadaran atas isu-isu penting, terutama isu sosial dan kemasyarakatan.
Di Indonesia, istilah “woke” juga sering dikaitkan dengan gerakan sosial atau aktivisme di mana para pelakunya kerap disebut sebagai “Social Justice Warrior” (SJW) di media sosial. Ada yang menganggap otentik, tapi ada pula yang menganggapnya palsu dan berlebihan.
Di masa lalu, banyak brand menjauhi isu-isu sensitif semacam itu lantaran takut diasingkan oleh audiens mereka. Namun sekarang, mereka lebih mengambil risiko dengan berdiri pada sebuah isu sosial. Seorang futurist, penulis, dan CEO firma konsultan pemasaran BrainReserve, Faith Popcorn malah mengungkapkan, periklanan sudah mati. Tamat. Kini, budaya menjadi media baru.
“Letakkan keyakinan brand anda ke dalam budaya,”,ujarnya
Dampak gerakan politik atau aktivisme dalam budaya memang bukan hal baru. Misalnya saja, aksi boikot musisi Rihanna dan Cardi B pada sebuah acara NFL Halftime di Super Bowl demi menunjukkan solidaritas bersama atlet NFL berdarah Afro Amerika, Colin Kaepernick.
Kaum generasi muda, seperti gen Z dan milenial memang berharap agar brand mampu mengartikulasi posisi mereka pada isu-isu penting sosial yang berdampak pada perubahan. Dalam riset baru-baru ini tentang konsumen muda, tren global menunjukkan 66 persen generasi muda menginginkan brand yang idealnya mampu mempromosikan nilai-nilai progresif dan memainkan peran aktif di masyarakat.
Apa yang salah dari kampanye berbasis nilai?
Membangun strategi inti dan merangkul nilai-nilai calon prospek memang merupakan ide brilian, bahkan sangat dibutuhkan dalam sebuah kampanye pemasaran. Kini, banyak perusahaan bersuara untuk isu-isu sensitif, seperti diskriminasi ras, agama, warna kulit atau hak-hak kesetaraan individu dan kelompok tertentu, seperti feminisme dan multikulturalisme.
Hal itu seolah membuat banyak pemasar berupaya mengkomodifikasi gerakan sosial, tanpa menoleh lebih dulu nilai dan budaya perusahaan mereka. Saat berbicara di Cannes Lions Festival, CEO Unilever Alan Jope mengingatkan soal “woke washing” di mana brand berupaya menjalankan kampanye berbasis nilai dan tujuan, namun gagal mengambil tindakan nyata.
Hal tersebut berpotensi mengancam industri iklan sendiri akibat potensi hancurnya kepercayaan publik, jika hanya dilakukan dalam jangka pendek. Jope mengingatkan, agar komunikasi yang dilakukan brand bisa sejalan dengan aksi mereka di keseharian (walk the talk).
“Kampanye bukan sekedar, “buat mereka menangis, buat mereka membeli,’. Komunikasi nilai adalah tentang aksi nyata kalian selama ini,”ujarnya.
Tak heran bila banyak praktisi menyangsikan tren “woke advertising” belakangan terakhir, sejak kesuksesan kampanye Dove #RealBeauty atau Nike #JustDoIt. Di satu sisi, memang ada brand meraup pundi keuntungan dengan penjualan meroket pasca menjalankan kampanye iklan berbasis nilai.
Namun, banyak pula kampanye yang gagal, bahkan terpaksa menerima cemooh audiens. Misalnya, iklan Pepsi versi Kendall Jenner atau jaringan supermarket asal Inggris, Marks and Spencer saat merilis produk sandwich LGBT.
Seperti yang sudah disebut di awal, pemasaran berbasis nilai memang penting dipertimbangkan bagi tiap brand. Namun, tantangannya adalah bagaimana kampanye itu bukan merupakan sebuah “woke washing” yang hanya tampak baik di luar saja, tapi juga mampu menjadi cara otentik menyampaikan pesan.
Sumber: Businessgrow/theguardian/Adweek
Leave a Reply