inbound marketing

Belajar Inbound Marketing dari Para Filsuf

inbound marketing
sumber: hawkseen

Di era digital dan komunikasi dua arah seperti sekarang, memang begitu banyak perubahan terjadi yang bahkan turut mengguncang eksistensi pebisnis besar. Jika di masa lalu, para pemasar bisa sesuka hati melakukan framing agenda lewat iklan satu arah di media-media mainstream, lain halnya dengan masa sekarang.

Kini, di saat semua orang sudah bisa bicara apa saja lewat new media alias media sosial, inbound marketing menjadi salah satu metodologi bisnis populer yang dianggap mampu menarik perhatian konsumen dengan lebih beretika lewat konten-konten bernilai.

Jika iklan dalam bentuk outbound marketing cenderung menginterupsi audiens dengan konten-konten yang tak mereka inginkan, sebaliknya dengan inbound marketing justru lebih membangun koneksi yang dicari audiens sekaligus membantu memecahkan masalah mereka.

Meski demikian, membuat konten yang bermakna bagi audiens bukanlah perkara mudah. Setidaknya ada tiga syarat apabila konten kita ingin diapresiasi audiens yakni, relevan, bernilai, dan konsisten.

Salah satu cara bagaimana kita bisa membangun komunikasi efektif dengan audiens adalah dengan belajar dari para filsuf. Seperti kita tahu, filsafat adalah induk dari segala ilmu pengetahuan yang sudah eksis selama berabad-abad lamanya. Banyak ide-ide dari para filsuf kuno Yunani yang bermanfaat bagi kehidupan, termasuk untuk pemasaran.

Ide-ide ini mungkin terlihat jadul, namun mengaplikasikan prinsip filosofi ke dalam upaya pemasaran mampu mentransformasi cara komunikasi antara brand dan audiens.

Aristoteles

Salah satu filsuf paling dikenal sepanjang sejarah, Aristoteles pernah menciptakan ide teknik persuasi atau sebagian lain menyebutnya retorika. Ia membagi persuasi menjadi tiga kategori, yakni, logos, pathos, dan ethos.

Ketiga konsep tersebut sebetulnya sangat bernilai bagi para penulis konten. Bukankah persuasi adalah bagian penting dalam pemasaran? Berdasarkan data Instagram, sebanyak 75 persen orang akan melakukan pencarian, membagi, hingga berbelanja setelah terinspirasi oleh sebuah postingan.

Maka itu, konten yang mampu membangun keyakinan seseorang akan menginspirasi orang tersebut untuk bertindak, entah melakukan klik sebuah situs, membagikan konten, bahkan mengonsumsi produk/jasa yang ditawarkan.

Dimulai dari logos merupakan aplikasi dari logika sebagai upaya memengaruhi. Logika atau argumen merupakan pilihan terbaik untuk meyakinkan seseorang agar mereka menerima penawaran kita.

Ethos, merupakan konsep etika dan karakter. Ide menyatakan bahwa tidak mungkin meyakinkan  orang lain jika kita tak kredibel. Maka, kredibilitas dan reputasi sangat diperlukan dalam membangun brand.

Setelah reputasi dan karakter terbangun, langkah berikutnya adalah menyentuh emosi alias pathos. Lantaran persuasi tidak akan berhasil tanpa melibatkan emosi dan rasa. Di sinilah para pemasar perlu merangkul gaya storytelling. Dengan anekdot dan narasi yang lebih humanis, pemasar akan punya kemampuan lebih untuk bisa terkoneksi dengan audiens.

Confusius

Filsuf asal China, Confusius yang lahir pada 551 SM  juga dikenal punya kata mutiara tentang kejujuran dan tranparansi yang sangat kritis perannya bagi para pemasar. Tak heran, jika menjadi otentik dalam setiap pesan yang disampaikan menjadi salah satu syarat penting bagi pemasar.

Diogenes

Ia merupakan pendiri prinsip filosofi cynic, yang menekankan pada pemenuhan kebutuhan diri, dan menolak kemewahan di mana pada abad 19 menggiring pada pemaknaan atas disposisi ketidakpercayaan terhadap ketulusan niat atau tindakan manusia.

Lalu, apa yang bisa dipelajari para pemasar dari pandangan filosofi cynic di masa awal? Janganlah terlalu kaku. Diogenes pernah kesulitan menemukan tempat untuk tinggal, maka ia memutuskan untuk tinggal di sebuah tub di Metroon (sebuah candi Yunani). Ia malah merasa jika tidak memerlukan tempat tinggal biasa.

Kita tak mesti meniru tindakannya, namun jangan sampai kita terbelenggu dengan rutinitas dan tradisi. Dalam merancang konten, jangan hanya terpaku pada tema itu-itu saja, cobalah untuk mengadopsi  bentuk-bentuk baru yang lebih segar agar audiens tidak menjadi jenuh hingga akhirnya melupakan kita.

Socrates

Pernah mendengar tentang Socratic Method? Ini merupakan konsep yang dikembangkan oleh Socrates yang sudah sangat kita kenal lewat buku-buku pelajaran zaman sekolah. Metode ini merupakan cara bertanya dan mengajukan teori untuk menginvestigasi atau menstimulasi fondasi atas ide-ide baru.

Cara ini juga biasa digunakan para pembuat konten agar tetap membuat pembacanya merasa lebih tertantang dan tidak bosan:

Pertama, tentu saja dengan menyelipkan pertanyaan dalam konten, misalnya saat akhir seksi atau paragraf hingga menggiring audiens untuk tetap menyimak. Cara ini membuat mereka selalu ingin tahu jawabannya hingga mereka membacanya hingga habis.

Metode Socratic juga dapat diaplikasikan dalam pemasaran. Rangkul audiens dengan cara bertanya isu tertentu lewat konten interaktif. Cara ini juga bisa dijadikan riset untuk mengetahui apa yang sebenarnya diinginkan oleh audiens hingga tercipta koneksi yang baik. Ingatlah, bahwa hubungan baik tak hanya menjadi kunci hidup bahagia, tapi juga kunci pemasaran yang baik.

 

Hubspot/HipB2B


Posted

in

by

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!