
Pernah mendengar perusahaan start up Theranos? Misi Elizabeth Holmes, CEO Theranos awalnya memang berjalan lancar. Wanita yang sempat disebut-sebut sebagai the next Steve Jobs ini, sekian lama menjadi media darling lantaran penemuannya yang terbilang fenomenal.
Namun, semua pencapaiannya luluh lantak kala Wall Street Journal memuat laporan investigatif berseri yang cukup “mind blowing”. Beberapa kejanggalan perlahan tercium di perusahaan yang menggembar-gemborkan teknologi baru dalam pemeriksaan darah itu.
Elizabeth Holmes mendirikan Theranos karena ia sendiri takut jarum. Theranos mengklaim memiliki versi lebih simpel dari aktivitas tes darah selama ini. Holmes sendiri banyak menghabiskan tahun-tahun pertama kuliah di Stanford bersama profesor teknik kimia Channing Robertson di laboratorium.
Pada musim panas, ia magang di sebuah lab di Singapura yang mencari cara untuk mendeteksi SARS (severe acute respiratory syndrome) dalam hitungan menit lewat telusur darah dan mucus (lendir). Lalu, ia kembali ke kampusnya dan menghabiskan hari-hari mengerjakan paten sistem pengiriman potongan obat-obatan.
Ia mempresentasikan patennya kepada Robertson sekaligus mengatakan akan keluar kuliah dan mulai mendirikan perusahaan. Holmes yang kala itu masih berusia 19 tahun meminta Robertson bergabung sebagai komisaris, dan ia pun setuju.
Segala sesuatunya berjalan cukup cepat. Keluarga, teman, dan seorang milyuner/venture capitalist Tim Draper menanamkan modalnya pertama kali. Holmes pun menyewa sebuah ruang lab dan mempekerjakan beberapa karyawan.
Ia terus mendapatkan suntikan pendanaan. Tahun 2004 sebesar 6,9 juta dolar, tahun 2005 sebesar 16 juta dolar, tahun 2006 sebesar 28,5 juta dolar. Sedangkan, tahun 2014 lalu ia berhasil mendapat 400 juta dolar. Di atas kertas, para investor menghargai perusahaan itu senilai 9 miliar dolar. Tak main-main investor blue chip seperti, Rupert Murdoch, Carlos Slim, dan Larry Ellison turut ambil peranan.

Sepanjang bisnisnya berjalan, Holmes mengubah fokus perusahaan dari pengiriman potongan obat-obatan ke diagnosis darah lewat tusukan ujung jari. Rencananya adalah menjualnya ke perusahaan-perusahaan farmasi. Theranos menjanjikan teknologi murah, cepat untuk tes kimia darah pasien dan mencari tahu efek obat-obatan dalam perkembangannya. Theranos menjadi bisnis bersinar di bidang kesehatan dan mulai mendapat perhatian besar media.
Majalah Fortune mengulas sosok Holmes dalam cover utamanya tahun 2014. Cerita di majalah itu menjuluki Holmes sebagai calon “the next legend” Sillicon Valley.
“Saya sadar bahwa saya seperti dihadapkan pada sosok Steve Jobs atau Bill Gates,”kata Robertson, mentor Holmes di Stanford, seperti dikutip dari Fortune.
Beberapa bulan berikutnya, Holmes dan Theranos kerap tampil dalam media-media penting di AS, seperti Vanity Fair, Bloomberg, Forbes, Inc, Fast Company, CNBC, CNN, The Economist, The New Yorker, Time, Glamour, WIRED.
Diam adalah emas
Di Theranos, diam adalah emas. Perusahaan tersebut dilaporkan, bahwa tiap departemen bekerja di ruang sangat tertutup agar karyawan tidak saling bicara mengenai proyek satu sama lain. Bahkan, semua pengunjung yang datang disebut-sebut harus menandatangani sebuah perjanjian “rahasia” sebelum memasuki gedung.
Dalam laporan banyak media, tes darah sesuai ukuran tertentu akan merevolusi industri pengobatan, di mana teknologi Theranos dinilai hebat sekaligus misterius. Sepanjang itu, tak ada satu pun yang mampu mengajak Holmes berdiskusi lebih dalam bagaimana sebetulnya teknologi itu bekerja.
Ketika Holmes begitu dipuja puji media, perusahaannya terus mendapat ajakan kerja sama dari berbagai instansi. Misalnya, Capital Blue Cross yang ingin mengadakan tes bagi para pasiennya di Pennsylvania, begitu juga dengan Cleveland Clinic, Walgreens dan Safeway.
Pada musim semi 2015 lalu, perusahaan itu mendapat izin legal untuk mengetes darah pasien tanpa catatan dokter. Di musim panas, FDA mengumumkan bahwa nanotainers milik Theranos aman digunakan untuk mengetes herpes simplex-1.
Sebetulnya, tes darah tidak membutuhkan persetujuan FDA. Persetujuan tes itu hanya dikembangkan lab klinik demi memenuhi kajian regulator lainnya yang dinamakan Clinical Labs Improvements Amendments atau, CLIA. Theranos menggunakan FDA untuk membungkam pihak-pihak yang skeptis bahwa teknologi baru Theranos tidak melalui tahap proses kajian untuk pasien.
Titik kejatuhan

Seorang jurnalis Wall Street Journal, John Carreyrou meragukannya. Ia telah membaca profil Holmes di New Yorker, dan ia merasa terganggu dengan absurditas perusahaan dan kerahasiaan-nya yang terlalu berlebihan. Pemenang penghargaan Pulitzer ini pun mulai melakukan investigasi dan pencarian fakta lain. Selama beberapa bulan ke depan, sumber-sumber mulai memberikan informasi sedikit demi sedikit padanya, termasuk dari tiga mantan karyawan Theranos sendiri.
Inti sarinya:

sumber: New York Times
Teknologi Theranos tidak seperti yang terlihat oleh publik. Faktanya, alat tes darah perusahaan, mesin bernama Edison tak mampu mendeteksi molekul dalam sampel darah untuk menyediakan hasil bacaan akurat. Darah bersifat beda-beda pada volume lebih kecil, seperti pil M&M yang dilapisi madu dengan cairan tepat. Edison tak mampu melakukan dengan benar, berdasarkan sumber Carreyrou.
Theranos telah menipiskan sampel yang diambil dari ujung jari pasien, lalu menjalankannya melalui alat tes darah yang diproduksi Siemens itu, tipe alat sama yang juga digunakan perusahaan tes darah lainnya. Faktanya, Theranos juga menggunakan mesin itu untuk menjalankan rangkaian tes darahnya.
Pada Oktober 2015, artikel Carreyrou dipublikasikan dengan headline “A Prized Startup’s Struggles.”Dalam artikel itu, juga terungkap dugaan bahwa Theranos telah berbohong soal tes kelayakan berdasarkan standar CLIA.
Holmes sempat mengelak saat diminta konfirmasi dalam acara CNBC’s Mad Money with Jim Cramer menanggapi laporan Wall Street Journal. Hari berikutnya, Journal menindaklanjuti pernyataan FDA dan meminta perusahaan itu menghentikan penggunaan nanotainers, karena itu alat kesehatan yang tak jelas.
Theranos berusaha menghajar balik saat tampil di konferensi teknologi Journal di Laguna Beach, California dan hari berikutnya mempublikasikan postingan blog untuk membantah laporan Journal poin per poin. Namun, perusahaan tetap gagal menyediakan data yang definitif untuk menjawab laporan Journal.
Hari-hari berikutnya menjadi masa kelam bagi Theranos, karena mulai banyak laporan media lain yang menyoroti kejanggalan perusahaan itu. Misalnya, The Financial Times yang melaporkan bahwa Theranos tidak pernah memiliki kesepakatan kerja sama dengan perusahaan farmasi Pfizer dan GlaxoKlineSmith, seperti yang dipublikasi The New Yorker tahun 2014. Lalu, Fortune yang menemukan kesenjangan jumlah uang yang disuntikkan ke Theranos.
Bisnis Theranos mulai terguncang ketika Walgreens mengumumkan tidak akan melanjutkan kerja sama sampai perusahaan itu bisa membuktikan bagaimana teknologi itu bekerja. Safeway juga meminta jaminan. Sedangkan, The Cleveland Clinic mengumumkan akan memverifikasi teknologi Theranos. Bahkan, Medicare dan Medicaid Services juga menemukan masalah serius di Theranos, Newark, Ca lab. Tentu saja, itu menjadikan Theranos kehilangan akses ke pasien-pasien Medicare.
Kabar terbaru dilansir CNET, pada bulan April 2018 lalu, Theranos memutus hubungan kerja banyak karyawan dari 125 orang menjadi hanya tinggal belasan. Padahal akhir tahun 2015 lalu, Theranos memiliki 800 karyawan. Hasil investigasi Carreyrou ini juga dibuatkan dalam bentuk buku bertajuk “Bad Blood”: Secrets and Lies in Sillicon Valley Start Up. Sayangnya, Mr Carreyrou tidak pernah berhasil mendekati Holmes, sehingga ia tidak mampu mengungkap motif psikologis lebih dalam mengapa Holmes melakukan kebohongan itu.
*Theeconomist/Wired.com/YahooBusiness/FastCompany*
Moral of the story? Don’t judge a book by it’s cover. Sometimes people love pretending and we don’t know what really does exist inside 🙂 🙂 🙂
Leave a Reply