“Ada gugatan dilayangkan ke sebuah perusahaan. Berdasarkan pengalaman masa lalu, para investor pun tahu jika berita soal gugatan tersebut akan berpotensi membuat harga saham jatuh. Banyak investor kemudian menjual saham mereka, demi menghindari penurunan nilai aset lebih tajam. Tak sampai di situ, bahkan investor perusahaan sejenis di industri yang sama juga turut khawatir atas berita gugatan tersebut dan bisa saja dilayangkan pada perusahaan sejenis lainnya. Para investor pun berbondong-bondong menjual saham. Harga saham perusahaan sejenis di industri yang sama itu pun jatuh seketika. Namun, tidak ada perusahaan yang mengambil tindakan atau masuk pengadilan. Maka, tidak ada alasan jelas pula mengapa harga saham bisa jatuh.”
Idealnya, seorang investor perlu memahami basis fundamental dan analisa keuangan sebuah bisnis sebelum mengambil keputusan. Tapi, tentu tidak semua investor bertindak seperti itu, contohnya seperti kasus di atas. Banyak di antara mereka yang kehilangan kontrol diri, bertindak irasional, dan mengambil keputusan berdasarkan bias personal dibanding fakta.
Padahal,teori tradisional keuangan menyatakan, pasar dan investor adalah entitas yang rasional, investor memiliki kontrol diri yang sempurna, serta mereka tidak bingung dengan kesalahan kognitif serta proses penerimaan informasi. Maka, belakangan terakhir muncullah sebuah kajian baru behavioral finance (BF) yang mempelajari pasar dan investor dari sudut pandang ilmu sosial, termasuk psikologi dan sosiologi.
Dalam behavioral finance, investor dipandang “normal”, “tidak rasional”. Mereka cenderung memiliki keterbatasan kontrol diri, dipengaruhi oleh bias pribadi, di mana kesalahan kognitif menggiring pada keputusan yang salah. Kajian BF ini merupakan sub kajian dari behavioral economics yang berkembang pada tahun 1980-an, di mana retakan mulai muncul dan dipandang sebagai Efficient Market Hypothesis (EMH).
EMH sendiri merupakan teori investasi yang menyatakan, bahwa harga saham merefleksikan semua informasi tentang investasi tertentu atau pasar setiap waktu, jadi investor tidak sekedar membeli saham dengan harga rendah atau menjual saham dengan harga terlalu tinggi.
Namun bicara soal kontribusi ilmu perilaku dalam ekonomi modern, tentu kita tidak bisa lepas dari nama besar Daniel Kahneman. Ia seorang doktor psikologi kognitif yang untuk pertama kalinya dinominasikan sekaligus memenangi Nobel Ekonomi tahun 2002 atas berbagai gagasannya terhadap ilmu ekonomi. Kahneman juga mempertanyakan asumsi rasionalitas manusia dalam teori ekonomi modern.
Bersama Amos Tyersky, Kahneman telah menulis 200 karya ilmiah sejak awal tahun 1970-an, tentang konsep psikologi dan dampaknya terhadap keuangan dan investasi, hingga ia dikenal sebagai penemu teori prospek.
Dalam kajian BF ada beberapa konsep utama yang harus dipahami di antaranya:
- Mental accounting : Kecenderungan mengalokasikan uang untuk tujuan tertentu
- Herd behavior: Kebiasaan orang untuk meniru perilaku kelompok mayoritas
- Anchoring: Tingkat pengeluaran terhadap referensi yang mudah, misalnya membelanjakan uang untuk brand yang populer
- High self-rating: Kecenderungan individu memberi peringkat lebih tinggi terhadap diri sendiri dibanding rata-rata orang lain
Mengapa kajian BF semakin penting?
Dengan memahami perilaku keuangan dapat membantu investor membedakan antara persepsi versus fakta. Contohnya anchoring. Inilah suatu kondisi di mana investor “bertahan” di tingkat harga tertentu berdasarkan nilai portfolio sebelumnya atau nilai pasar terkni, tanpa melihat lebih jeli perubahan yang ada di pasar atau prediksi di masa depan.
Kondisi itu bisa juga terjadi karena investor ingin “aman” dan menolak menjual akibat performa saham yang jeblok. Hal itu lebih dilandasi oleh harapan modal kembali daripada harus menanggung rugi, tapi mereka juga tidak paham alasan jelas di balik kerugian tersebut.
Selain itu, herding alias ikut terbawa arus juga merupakan sikap yang perlu dihindari dalam berinvestasi. Sikap “ikut-ikutan” tanpa mencari tahu latar belakang, dapat menyebabkan investor melakukan investasi yang mungkin saja tidak cocok dengan tujuan finansial mereka.
Satu lagi sikap yang juga perlu dihindari adalah “terlalu percaya diri” (overconfidence). Sikap ini dapat membawa masalah tersendiri karena seseorang akan merasa jauh lebih pintar atau mampu, padahal kenyataannya tidak seperti itu.
Dengan memahami perilaku berinvestasi ini, tentunya bisa menyelamatkan kita dari potensi “pemborosan” atau kehilangan uang serta lebih hati-hati dalam melangkah ke depan. Tidak hanya berlaku bagi investor di pasar modal, tetapi juga saat kita berinvestasi untuk bisnis yang dibangun sendiri. Maka itu, pastikan bahwa setiap pengambilan keputusan selalu didasarkan pada data dan informasi akurat,
Sumber: Diolah dari The street/Kontan
Leave a Reply